SWARANG PATANG STUMANG

Peradilan Adat Rejang dan Penomena

Keberadaan peradilan adat di tanah Rejang sudah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama, jauh sebelum agama Islam masuk ke Tanah Rejang dimulai ketika zaman Ajai dan Bikau, negeri yang terletak disepanjang Bukit Barisan ini penduduknya sudah lama melaksanakan tata tertib peradilannya menurut hukum adat. Pada masa penjajahan peradilan adat tetap bertahan sebagai suatu bentuk peradilan “orang asli” berhadapan dengan peradilan “gouvernement rechtsspraak”, meski demikian Pemerintahan Belanda mengakui terhadap usaha penyelesaian sengketa local melalui peradilan adat, pengakuan ini dilakukan secara berbeda dengan landasan hukumnya masing-masing. Setelah Indonesia merdeka peradilan adat ini menjadi tidak berdaya setelah disyahannya UU Darurat No 1 Tahun 1950 yang menghapus beberapa peradilan yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan atau menghapus secara berangsur-angsur peradilan swapraja di beberapa daerah dan semua peradilan adatnya termasuk juga dengan peradilan adat yang ada di Rejang Lebong.

Meskipun Negara dan kelompok-kelompok dominan terus mempertanyakan kesahihannya sebagai hukum, bahkan lebih dari itu juga berupaya untuk melenyapkan atau memaksakan mengenakan identitas hukum modern (hukum negara), tetapi peradilan adat mempunyai kemampuan untuk bertahan selain karena strategi asimilasi yang juga disebabkan oleh pembelaan yang panjang terhadap keberadaannya. Organisasi social-politik atau disebut juga kelembagaan adat komunitas local di Bengkulu dikenal dengan Marga dan Kutai ditingkat Kampung, lembaga inipun mampu menyelengarakan organisasi pengaturan diri sendiri (self governement), organisasi inipun bukan hanya kontruksi dari normal, aturan dan kelembagaan tetapi lebih dari itu pengaturan tersebut didasari oleh perangkat nilai dan pandangan hidup yang menjadi rujukan pada pembentukan norma dan tata aturan adat.

Secara sosiologispun aspek hukum dan peradilan adat dalam kehidupan masyarakat di Rejang Lebong pandang sebagai penjaga keseimbangan, keseimbangan yang dimaksud adalah kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat dan antar masyarakat dengan alam. Karena itu peradilan di pandang sebagai media penjaga keseimbangan daripada sebuah institusi pemberi dan penjamin keadilan sebagaimana yang dipahami dalam hukum modern atau hukum positif.

Dalam kerangka inilah masyarakat adat di Rejang Lebong memandang hukum adat sebagai salah satu dari tiga unsure penjaga keseimbangan disamping hukum negara (pemerintah) dan hukum agama. Kondisi ini juga yang mendorong masyarakat menengok kembali system peradilan adat atau system peyelesaian sengketa local disamping sector peradilan nasional menjadi sector kenegaraan yang paling resisten terhadap tuntutan perubahan ke arah yang lebih jujur, terbuka dan taat azas.

Otonomi sebagai salah satu cakrawala baru yang memungkinkan komunitas-komunitas adat membangun dan mengembangkan identitas eksistensial adalah cita-cita dan peluang, disatu pihak Undang-Undang Dasar memungkinkan pergantian konsep Pemerintahan Desa dengan konsep Pemerintahan Adat seperti pada Amandemen II UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 yang menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”. Dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintaan Daerah juga menyebutkan bahwa Desa atau dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan menungurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas dasar ini selama 2 tahun terakhir Akar Foundation sebagai pendukung gerakan masyarakat adat di Bengkulu dan AMA Bengkulu sebagai organisasi gerakan bagi masyarakat adat dengan beberapa NGO pendukung melakukan tekanan-tekanan kepada pemerintah daerah Rejang Lebong agar pranata dan praktik peradilan adat yang masih melekat di masyarakat adat dalam keseluruhan sistim sosial budayanya diakomodasikan dalam berbagai produk regulasi di Kabupaten Rejang Lebong.

Menyadari bahwa persoalan-persoalan yang terkait dengan masyarakat adat acapkali bersumber pada peraturan perundangan yang terkait dengan mekanisme penyelesaian sengketa baik perkara pidana ataupun sengketa perdata terutama pada tetuterial masyarakat adat, Political Will Bupati Rajang Lebong dengan menerbitkan kebijakan daerah berupa Surat Keputusan (SK) Bupati Rejang Lebong Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Hukum Adat Rejang, perlu juga menjadi bahan diskusi karena SK ini menjelaskan bahwa sengketa dan masalah yang terjadi dalam masyarakat adat di wilayah Kabupaten Rejang Lebong, diupayakan dilaksanakan menurut hukum adat Rejang dan dilaksanakan oleh perangkat adat/lembaga adat yang disebut sebagai Jenang Kutai (eksekutor beberapa kasus/sengketa) padahal pada tata penyelesaian sengketa dalam peradilan adat Rejang forum Sukau dan Kutai merupakan forum pertama dalam penyelesaian sengketa yang amat menonjolkan pendekatan musyawarah. Selanjutnya Surat Keputusan (SK) Bupati Rejang Lebong No 93 Tahun 2005 Tentang Kumpulan Hukum Adat Bagi Masyarakat Adat Dalam Wilayah Kabupaten Rejang Lebong, lebih rinci menjelaskan sumber acuan bagi perangkat adat/lembaga adat dalam mengupayakan penyelesaian secara adat atas sengketa/masalah yang terjadi di masyarakat adat di Wilayah Kabupaten Rejang Lebong. SK ini terkesan rancu akibat tidak melalui proses pendokumentasian dari beberapa tahapan penyelesaian sengketa banyak yang terputus bahkan ditiadakan akibat transper ilmu antar generasi yang tidak sempurna di samping lemahnya kapasitas beberapa pelaku pelaksana peradilan adat terutama memahami mekanisme penyelesaian local dengan beberapa aturan dalam hukum pisitif.

Muatan substansi dari 2 buah SK ini lebih banyak membahas tentang tata cara peradilan adat di tingkat kampung terkesan unifikasi dan sangat elitis serta sarat dengan muatan politis yang hanya lebih rinci membahas penyelesaian seremonial dan tidak membahas secara holistik dan integralistik tentang penyelesaian sengketa dan persoalan-persoalan yang ada di tingkat kampung. Kedua SK ini selanjutnya akan dijadikan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong, Akar Foundation dan AMA Bengkulu menyadari tentunya tidak mudah untuk menyusun struktur dan system peradilan adat yang dapat mengambarkan seluruh struktur peradilan adat yang dipunyai oleh komunitas adat yang ada di Rejang Lebong baik sturuktur social, tingkat perkembangan masyarakat dan derajat asimilasi serta integritasnya dengan system dari luar, hal ini menjadi sangat menentukan struktur dan system peradilan adat tersebut berjalan dan dihormati oleh para pihak.

Hal lain juga tentang luas dan sempitnya ruang hidup yang mampu dibangun oleh peradilan adat sangat terantung sejauh mana ia mampu menjawab problem legitimasi dan problem relasinya dengan hukum negara, problem legitimasi ini lebih merujuk pada sejauh mana peradilan ini mampu menjawab tuntutan keadilan pada tingkat komunitanya, sementara problem relasi dengan negara lebih merujuk pada pembagian yurisdiksi dan membangun kesepakatan-kesepakatan politik di daerah yang memungkinkan system peradilan adat bisa berjalan.

Kebutuhan akan institusi dan kelembagaan lokal serta peradilan adat ini selain adanya peluang yang diberikan oleh negara serta adanya jaminan bagi keseimbangan juga berawal dari kebutuhan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, mengembangkan diri, mengawas jalannya proses pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di atas tanah ulayat dan bertujuan untuk mensejahterakan masyarakatnya dan menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Tekat yang kuat juga untuk kembali kepada system peradilan adat di anggap juga sebagai respon terhadap runtuhnya legitimasi sitem peradilan nasional. Maka kegiatan ini adalah untuk menginisiasi dan membangun kembali system peradilan adat dengan membangun pondasi yang kokoh agar peradilan adat ini memiliki legitimasi yang kuat seperti:

  • proses politik untuk menguatkan system peradilan di selengarakan secara demokratik,
  • dan dalam implementasi dari system peradilan adat ini mampu menghasilkan putusan-putusan yang terpercaya dan dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa dan para pihak lainnya.

Oleh: Erwin S Basrin

0 komentar: