SWARANG PATANG STUMANG

Persoalan di Jurukalang

System penguasaan tanah menjelaskan hak-hak yang dimiliki atas tanah, hak atas tanah jarang di pegang oleh satu pihak saja. Pada saat yang sama di bidang tanah yang sama, bisa saja terdapat sejumlah pihak yang memiliki hak penguasaan atas tanah tersebut secara bersamaan tetapi dengan sifat hak yang berbeda-beda (bundle of rights).

Di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu Bundle of Rights dapat dilihat claim atas tanah antara Masyarakat Adat Khususnya Masyarakat Adat Jurukalang dengan Tanam Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) dan Hutan Lindung, di mana kawasan peruntukan konservasi (Taman Nasional dan Hutan Lindung) hak kepemilikan tanah di pegang oleh negara, namun setiap warga negara memiliki hak untuk menjunjung tinggi dan menikmati keindahan alam, sementara masyarakat adat yang berada di sekitar (Buffer Zone) memiliki hak untuk memakai (right of use) secara bersyarat sumber daya alam yang terdapat di atasnya untuk kesejahteraan mereka. Disini terlihat betapa satu pihak yang memilki hak untuk menguasai tanah, belum tentu memegang hak kepemilikan atas tanah tersebut sebaliknya kepemilikan secara pasti merupakan sebentuk hak penguasaan.

Satu hal yang sangat penting sehubungan dengan sistem penguasaan tanah adalah jaminan kepastian terhadap hak penguasaan. Kepastian atas pengakuan ini hanya mungkin terjadi jika semua pihak mengakui dan mengaskan sistem hukum dan persfektif yang sama, klaim pengusan tanah antara Masyarakat Adat Jurukalang dengan basis argumen tenurial geneologis berbenturan dengan beberapa tata aturan sektoral seperti agraria dan kehutanan.
Salah satu hak adat yang terabaikan atas penguasaan tanah di Kabupaten Lebong adalah keberadaan wilayah adat komunitas Jurukalang, dimana tanah ulayat yang mereka kelola sejak lama ikut dimasukkan ke dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) tanpa ada kompromi.

Selain sejarah secara turun temurun terdapat beberapa dokumen tentang pengakuan bahwa tanah tersebut adalah Tanah Adat, pernyataan J. Walland tahun 1861 menyatakan bahwa telah terdapat Marga-Marga teritorial di wilayah ini dan diperkuat oleh J Marsden dalam “The History of Sumatera” 1783, komunitas adat Jurukalang yang dikenal dengan sistem Petulai ini adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami.
Masyarakat warga Petulai menyebut tanah yang di kuasai secara komunal ini dengan penyebutan Imbo Adat/Taneak Tanai yang dikelola secara lokal (adat rian ca’o) di dalam pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan atas kebutuhan masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan hutan akan mempunyai daya guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Karena di dasari atas anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai) bukan saja persoalan ekonomi melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan keamanan yang tinggi.
Anggapan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kontak dan konflik antar kelompok baik masyarakat dengan masyarakat (horizontal) maupun dengan Masyarakat dengan Negara (vertikal). Akibat penerapan pola-pola lama penguasaan atas tanah oleh Negara yang seharusnya lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat justru sebaliknya memberikan contoh buruk, bahkan masyarakat selalu dijadikan stigma sebagai kambing hitam pelaku kejahatan dalam mengeksploitasi sumber daya alam ataupun sebagai perusak hutan atau imbo adat.

Hal ini Sangat tidak adil dan keliru, namun demikianlah kenyataan yang terjadi sehingga ditengah masyarakat terjadi konflik vertikal antara masyarakat dengan Pemerintah dan konflik horizontal terjadinya saling tuduh antar masyarakat, dimana masyarakat yang satu dituduh sebagai perusak hutan yang berakibat pada kurangnya debit air yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat itu sendiri. Begitupun dengan konflik vertikal saling tuding antara masyarakat dan pemerintah atau sebaliknya, sementara yang lain ingin menjaga dan melestarikan hutan dengan baik.

Dari kondisi yang ada tersebut, masyarakat Jurukalang yang diwakili oleh beberapa tokoh masyarakat-nya mengharapkan bahwa masyarakat ingin agar Pemerintah dan berbagai pihak lainnya mau mengakui keberadaan wilayah adat komunitas Jurukalang yang kini berada dalam Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat tersebut.
Berangkat dari permasalahan yang di hadapi Masyarakat (Jurukalang), maka diperlukan ketersediaan berbagai data dan informasi yang menyangkut keberadaan masyarakat Jurukalang dan pengelolaan wilayah adatnya. Kejelasan data dan informasi tentang kondisi faktual secara fisik dan sosial keberadaan masyarakat adat Jurukalang akan di gali dengan sistem pengalian data dasar. Data dan informasi ini akan menjadi salah satu bahan bagi upaya mendorong pengakuan oleh multi stakeholders terhadap eksistensi, hak akses dan kontrol masyarakat adat Jurukalang atas wilayah adatnya. oleh erwin

Propil Singkat Jurukalang

John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan tentang adanya empat Petulai Rejang salah satunya adalah Joorcallang (Jurukalang), di sisi lain Dr. J.W. Van Royen dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” menyatakan bahwa Marga Jurukalang merupakan kesatuan Rejang yang paling murni.

Secara fisik komunitas adat Jurukalang berada di sepanjang Hulu Sungai Ketahun dan berada di sepanjang Bukit Barisan dengan dataran tinggi yang subur yang merupakan lereng Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range yang berada pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif terdiri dari 10 Desa Administratif dan masuk ke dalam dua Kecamatan (Kecamatan Rimbo Pengadang dan Kecamatan Lebong Selatan) dan secara geografis terletak di 3º40’-3º60 LS dan 100º20’-104º30 BT, Komunitas ini memiliki luas wilayah adat ± 43.300 Ha dengan jumlah penduduk 12.767 jiwa.

Di bagian kawasan adat Jurukalang terdapat kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di sisi lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang atau Register 42 yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).

Kawasan adat yang berada di paling ujung bagian Timur Kabupaten Lebong ini mempunyai jarak tempuh 75 Km dari Pusat ibu kota Kabupaten, dan memiliki satu-satunya Desa yang belum masuk jaringan Pembangkit Listrik Negara (PLN) yaitu Desa Bandar Agung. Dengan kondisi wilayah pegunungan yang subur masyarakat Jurukalang mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan dengan strategi dan pola pertanian tradisional yakni menggabungkan perladangan Kopi dengan Kayu Manis, tanaman Jahe, Nilam serta persawahan. Bahkan ada beberapa penduduknya mengumpulkan hasil-hasil hutan non kayu seperti rotan, madu untuk di gunakan dan di jual. Di kawasan hutan ini juga ditemui beberapa tumbuhan hutan yang diketahui khasiatnya untuk pengobatan yang belum terdokumetasikan karena sebagian besar tumbuhan ini tidak muncul dalam transaksi pasar resmi.

Sebagai bagian dari Komunitas Adat Suku Rejang masyarakatnya memegang teguh adat bersendi syara’ bersendi kitabullah, dan mengenal pembagian wilayah atau keruangan yang disebut untuk areal pemukiman (di sebut Sadei, Kutai), perladangan (disebut Talang) dan hutan (di sebut imbo). Sesekali masyarakatnya mengunjungi Pasara Desa (Peken) untuk menjual hasil panen pertaniannya dan membeli kebutuhan pokok bagi keluarga.

Pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai).

Sebagian masyarakat sepenuhnya menyadari hidupnya yang ketergantungan dengan alam, berbagai larangan untuk menebang pohon tertentu misalnya pohon madu (Sialang) dianggap sama dengan menghilangkan nyawa seseorang, menebang pohon belum waktunya dan menebang pohon di sepanjang badan sungai kiyeu celako demikian jenis kearifan yang ada merupakan strategi guna untuk mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam. Masyarakat Jurukalang mengenal kepercayaan bahwa ada kekuatan lain di luar kemampuan dan tanda-tanda alam yang harus dihormati sebagai ujut kebersatuan dengan alam mereka mengenal dengan tuweak celako. Hingga saat ini upacara-upacara adat yang berkaitan dengan hal di atas masih sering dilakukan seperti Doa Tala Bala (Kedurai Agung) upacara di seputar tanaman padi (mundang biniak), membuka ladang (mengeges, kedurai), membangun rumah (temje bubung) dan lain-lain.

Sistem pemerintahan masyarakat Jurukalang mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu.

Sistem Lokal Jurukalang dalam Pengelolaan SDA

Jurukalang adalah salah satu Komunitas Geneologis yang berada di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu, secara Administratif Jurukalang berada di Kecamatan Rimbo Pengadang dan Sebagian Kecamatan Lebong Selatan. Komunitas Jurukalang merupakan kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami .

Jurukalang dalam bahasa Lokal di sebut Jekalang adalah salah satu komunitas adat tertua dalam sejarah suku Rejang (Jang), keterangan ini tidak hanya di dapat dari cerita secara turun temurun namun dari beberapa dokumen tentang pengakuan ini salah satunya pernyataan J. Walland tahun 1861 menyatakan bahwa telah terdapat Marga-Marga teritorial di wilayah ini dan diperkuat oleh J Marsden dalam “The History of Sumatera” 1783.

Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat Jurukalang memiliki norma-norma yang kemudian di atur dalam sistem Adat Tiang Pat Lemo Magea Rajo , pada tataran aplikatif sering disebut dengan Adat Beak Nyoa Pinang atao Adat Neak Kutai Nated, dan sampai saat ini masih memegang teguh Adat Bersendi Syara’ dan bersendikan kitabullah . Dalam sejarah Jurukalang disebutkan bahwa sebelum ditetapkan kelembagaan Jurukalang (berasal dari kata Galang ), diwilayah ini sudah terdapat sistem pemerintahan yang di pimpin oleh Ajai, Ajai ini adalah gelar seseorang Pemimpin Komunitas yang diambil dari Kata Majai (dalam bahasan Sangsekerta berarti Pimpinan suatu Kumpulan manusia).

Sejarah tentang Jurukalang ini sendiri dimulai ketika peristiwa Penebangan Kayu Benuang Sakti, dimana ketika proses penebangan tersebut Komunitas Jurukalang kebagian tugas sebagai juru Galang, Kemudian komunitas ini di kenal dengan sebutan Jurukalang yang di pimpin oleh Bikau Bermano dan berkedudukan awalnya di Kutai Suko Negerai, dan kemudian pindah ke Desa Tapus, beberapa priode pemerintahan Adat Jurukalang di bawah Pimpinan Pesirah atau Depati ini tetap di Desa Tapus.

Sistem-sistem lokal di Jurukalang di Kenal Arif yang tidak hanya mengatur hubungan dengan sesama tetapi hubungan dengan Tuhan, Gaib dan Alam. Hubungan antar sesama biasanya adalah hubungan komunal antar Sukau (kesatuan clan/keluarga) yang biasanya di ketuai oleh Ketua Sukau atau Kutai yang dipilih oleh clan tersebut. Hubungan dengan Tuhan dalam sistem Rejang sering disebut dengan istilah So Samo Kamo Bamo (So artinya Satu), ada kepercayaan Esa terhadap Tuhan. Di Jurukalang sendiri masih mempercayai adanya kekuatan gaib diluar kemampuan manusia, penyebutan Diwo Duwate, keramat, wali, Diwo Pat Jemnang Kutai adalah aplikasi dan apresiasi terhadap jenis-jenis makluk gaib. Pada tataran implementasi ini melekat erat dalam sistem kelola wilayah adat, Kedurai Agung, Kedurai Madeak Turuak biasanya adalah jenis dialogis dengan makluk gaib di wilayah-wilayah tertentu.

Kedurai Mundang Miniak adalah sistem lokal ketika masyarakat akan turun kesawah, Temje Bubung sistem gotong royong untuk menegak rumah, Pantangan dalam mengelolan sumber daya alam diwilayah tertentu disebut dengan Tuwea Celako misalnya menebang pohon-pohon tertentu, "lahan yang ketika ditebang membentuk jembatan di atas sungai atau anak sungai biasanya akan menimbulkan musibah kepada orang yang mengelolan lahan tersebut" disebut oleh Bapak Salim tokoh adat Desa Tapus, biasanya ketika akan membuka lahan perkebunan ada ritual khusus seperti Kedurai, Mengeges, sampai sedelah bumi kami menyebutnya dengan bedu’o , ditambah Bapak Salim. Demikian juga dengan jenis-jenis kayu tertentu yang akan digunakan untuk rumah, di Jurukalang ada kretaria, Kayu Sialang biasanya apabila dipaksanakan digunakan akan menimbulkan bencana kematian bagi penunggu rumah karena kayu tersebut ada yang gemuyan (makluk gaib penunggu pohon dalam bahasa Lokal di sebut tunggau ) di sambung Bapak H. Tuhir (tokoh masyarakat Jurukalang Tapus).

"Mungkin inilah akibat banyaknya bencana yang terjadi saat ini karena kita melangar adat yang telah diturunkan oleh leluhur kita" di sambung oleh Bapak Salim, Ketika Panen jenis-jenis tertentupun di Jurukalang ada bagian khusus yang harus diberikan ke pada penguasa gaib, misalnya ketika Panen Ikan di Salah Satu Sungai maka ada bagian khusus yang harus diberikan kepada Puyang dan Ninik (penyebutan Harimau), "ini menunjukan bahwa dalam pemanfaatan sumber daya yang ada tidak boleh berlebihan" dijelaskan oleh Pak Salim, "dulu ketika ada kelembagaan adat Marga, pemanfaatan kayu itu hanya boleh untuk kebutuhan membangun rumah dan tidak boleh di jual, berburu hewan tertentu hanya boleh dilakukan pada masa tertentu" ditambah Pak Salim. Sampai saat ini sistem lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam sebagian besar masih di taati namun sebagian besar banyak dilanggar,misalnya pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai) masih sangat dihormati. Namun beberapa hal dilakukan proses modefikasi seperti sistem pemerintahan masyarakat Jurukalang mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu.

Source : Erwin Basrin Akar Foundation

Siyen Kutai,Serameak Suku Rejang

Lamun hari tukinang hari, Hari tukinang sedang hari tinggi, siamang tu sedang redawe, Kelik sedang pekik rami, Angin sedang gugur daun, Gururlah daun remacang mudo, Gugur daun repinang mudo, Lubuk sedang begenjo ijo, Ratu sedang bebayang kuning, Becalang mudik milir, Bibik sedang laburan jemur, Bujang juare sedang mericik tue ayam, Bujang gadis rau ketenun, Ilanglah lading pertas tenun, Ilang penyukit duri ladak, Baru teringet kepade pesan.
Ado pesan Wong Tue dulu Ade, Lamun rejung kenyen suatu, Rejung madak laut lepas, Lekap genap nuli redanan, Riau rindau uli pekakas, Gereng kemas dede piagus, Dedereng pengiran demak rauh, Amun be upi itu pinang idak beupi itu nibung amun betuli itu kudang, Idak betuli kudang badung, Kunang kauren nian datang, Kundang kurindu nian siba, Namun muga, muga kerumo, Warang kerume keberuge, Tilik lah tetang wong desa, Lamun nak culo culo lah lage, Culo lage mato reganding, Nak culo nage nage ke laut, Mato regading liman di hutan, Kabar ndak meruge adat care sirih pinang, Adat care pinang sukar di rube, Lamun segalenye kurang dari tubuh.
Lamun diwe bertulung duate berbatu, Wong pisak pacak bapit, Baring miskin pacak kaye, Amun diwe idak bertulung, Wong pisak tame pisak, Bareng miskin lame miskin, Takele dina tekale, Tekale dina maso itu, Betung betulis dengan tulisan awur bersurat dengan suratan, Epe ditulis dengan betung, Ape disuret oleh aur, Tiran ulung layang putiak, ado disano, Tiran ulung pandai membace, Layang putiak pandai menyurat, Laju bepesan burung piran ulung, Amun cikundu ngadap keteluk, Besok kundu sare tangungan, Kundu menengah jarang balik, Patah kundu hilang di ratau, Abung cerite lamun jauh, Besaklah ikan lamun luput, Ayam betabang senimar elang.
Ikan dipangang tingal tulang, Igak berigak padi masak, Igak beragam badan tue, Igak bedindang biduk anyut, Bepesan kedue dengan pesan, Pesan burung layak putiak, Besili batu asah, Gerenget tukanglah tibo, Idak ulah cari ulah, Idak ban batu digale, Rumah ado cari podok, Lamun orang pemanyek mati jatuh, Orang pedingin mati anyut, Orang peibo ilang seurang, Tang tilik lah tang, Tiliklah tang desa ninik mamak disini, Desa serut laman sunyi, Desa digepung oleh betung, Desa disindang olih lalang, Rumah berarik tiang serik, Satu adak tiang duduk, Peratin kurang perite, Bujang gadis kurang pengunyung. Selebar ringgit sepangung, Gadis iluk nungu beruge, Sude digepung dengan ringgit, Sude disindang dengan redai, Ade anak bujang lumang, Kerimbo tenang, ndak merayap ke rimbo bano merang ke rimbo alas, Anak bujang kerimbo tenang.
Ibarat batu gulek idak beseding, batu pat dilipat jadi tige, Anak bujang kerimbe tenang naik tebing turun tebing, Naik gunung turun gunung, Nempuh hujan dengan panas, Idak tentu malam dengan siang, Malam peduman bulan bitang, Siang peduman mate hari, Anak bujang lumang kerimbe tenang betemu petemuan, Temu endapat pendapatan, Temu telur kanyen sebiji, Telu senayak seninang, Senayak di ujung jari, Senindang di hati tangan, Stabik ucap sepakat, Telur digengam rapat-rapat, Meretas menjadi burung empat, Se bename burung elang, Due bename burung pungguk, Tige bename burung tiung,Empat bename burung sawi. oleh Team AMARTA dari Bapak Salim Senawar,kutai Tapus

Peradilan Adat Rejang dan Penomena

Keberadaan peradilan adat di tanah Rejang sudah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama, jauh sebelum agama Islam masuk ke Tanah Rejang dimulai ketika zaman Ajai dan Bikau, negeri yang terletak disepanjang Bukit Barisan ini penduduknya sudah lama melaksanakan tata tertib peradilannya menurut hukum adat. Pada masa penjajahan peradilan adat tetap bertahan sebagai suatu bentuk peradilan “orang asli” berhadapan dengan peradilan “gouvernement rechtsspraak”, meski demikian Pemerintahan Belanda mengakui terhadap usaha penyelesaian sengketa local melalui peradilan adat, pengakuan ini dilakukan secara berbeda dengan landasan hukumnya masing-masing. Setelah Indonesia merdeka peradilan adat ini menjadi tidak berdaya setelah disyahannya UU Darurat No 1 Tahun 1950 yang menghapus beberapa peradilan yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan atau menghapus secara berangsur-angsur peradilan swapraja di beberapa daerah dan semua peradilan adatnya termasuk juga dengan peradilan adat yang ada di Rejang Lebong.

Meskipun Negara dan kelompok-kelompok dominan terus mempertanyakan kesahihannya sebagai hukum, bahkan lebih dari itu juga berupaya untuk melenyapkan atau memaksakan mengenakan identitas hukum modern (hukum negara), tetapi peradilan adat mempunyai kemampuan untuk bertahan selain karena strategi asimilasi yang juga disebabkan oleh pembelaan yang panjang terhadap keberadaannya. Organisasi social-politik atau disebut juga kelembagaan adat komunitas local di Bengkulu dikenal dengan Marga dan Kutai ditingkat Kampung, lembaga inipun mampu menyelengarakan organisasi pengaturan diri sendiri (self governement), organisasi inipun bukan hanya kontruksi dari normal, aturan dan kelembagaan tetapi lebih dari itu pengaturan tersebut didasari oleh perangkat nilai dan pandangan hidup yang menjadi rujukan pada pembentukan norma dan tata aturan adat.

Secara sosiologispun aspek hukum dan peradilan adat dalam kehidupan masyarakat di Rejang Lebong pandang sebagai penjaga keseimbangan, keseimbangan yang dimaksud adalah kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat dan antar masyarakat dengan alam. Karena itu peradilan di pandang sebagai media penjaga keseimbangan daripada sebuah institusi pemberi dan penjamin keadilan sebagaimana yang dipahami dalam hukum modern atau hukum positif.

Dalam kerangka inilah masyarakat adat di Rejang Lebong memandang hukum adat sebagai salah satu dari tiga unsure penjaga keseimbangan disamping hukum negara (pemerintah) dan hukum agama. Kondisi ini juga yang mendorong masyarakat menengok kembali system peradilan adat atau system peyelesaian sengketa local disamping sector peradilan nasional menjadi sector kenegaraan yang paling resisten terhadap tuntutan perubahan ke arah yang lebih jujur, terbuka dan taat azas.

Otonomi sebagai salah satu cakrawala baru yang memungkinkan komunitas-komunitas adat membangun dan mengembangkan identitas eksistensial adalah cita-cita dan peluang, disatu pihak Undang-Undang Dasar memungkinkan pergantian konsep Pemerintahan Desa dengan konsep Pemerintahan Adat seperti pada Amandemen II UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 yang menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”. Dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintaan Daerah juga menyebutkan bahwa Desa atau dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan menungurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas dasar ini selama 2 tahun terakhir Akar Foundation sebagai pendukung gerakan masyarakat adat di Bengkulu dan AMA Bengkulu sebagai organisasi gerakan bagi masyarakat adat dengan beberapa NGO pendukung melakukan tekanan-tekanan kepada pemerintah daerah Rejang Lebong agar pranata dan praktik peradilan adat yang masih melekat di masyarakat adat dalam keseluruhan sistim sosial budayanya diakomodasikan dalam berbagai produk regulasi di Kabupaten Rejang Lebong.

Menyadari bahwa persoalan-persoalan yang terkait dengan masyarakat adat acapkali bersumber pada peraturan perundangan yang terkait dengan mekanisme penyelesaian sengketa baik perkara pidana ataupun sengketa perdata terutama pada tetuterial masyarakat adat, Political Will Bupati Rajang Lebong dengan menerbitkan kebijakan daerah berupa Surat Keputusan (SK) Bupati Rejang Lebong Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Hukum Adat Rejang, perlu juga menjadi bahan diskusi karena SK ini menjelaskan bahwa sengketa dan masalah yang terjadi dalam masyarakat adat di wilayah Kabupaten Rejang Lebong, diupayakan dilaksanakan menurut hukum adat Rejang dan dilaksanakan oleh perangkat adat/lembaga adat yang disebut sebagai Jenang Kutai (eksekutor beberapa kasus/sengketa) padahal pada tata penyelesaian sengketa dalam peradilan adat Rejang forum Sukau dan Kutai merupakan forum pertama dalam penyelesaian sengketa yang amat menonjolkan pendekatan musyawarah. Selanjutnya Surat Keputusan (SK) Bupati Rejang Lebong No 93 Tahun 2005 Tentang Kumpulan Hukum Adat Bagi Masyarakat Adat Dalam Wilayah Kabupaten Rejang Lebong, lebih rinci menjelaskan sumber acuan bagi perangkat adat/lembaga adat dalam mengupayakan penyelesaian secara adat atas sengketa/masalah yang terjadi di masyarakat adat di Wilayah Kabupaten Rejang Lebong. SK ini terkesan rancu akibat tidak melalui proses pendokumentasian dari beberapa tahapan penyelesaian sengketa banyak yang terputus bahkan ditiadakan akibat transper ilmu antar generasi yang tidak sempurna di samping lemahnya kapasitas beberapa pelaku pelaksana peradilan adat terutama memahami mekanisme penyelesaian local dengan beberapa aturan dalam hukum pisitif.

Muatan substansi dari 2 buah SK ini lebih banyak membahas tentang tata cara peradilan adat di tingkat kampung terkesan unifikasi dan sangat elitis serta sarat dengan muatan politis yang hanya lebih rinci membahas penyelesaian seremonial dan tidak membahas secara holistik dan integralistik tentang penyelesaian sengketa dan persoalan-persoalan yang ada di tingkat kampung. Kedua SK ini selanjutnya akan dijadikan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong, Akar Foundation dan AMA Bengkulu menyadari tentunya tidak mudah untuk menyusun struktur dan system peradilan adat yang dapat mengambarkan seluruh struktur peradilan adat yang dipunyai oleh komunitas adat yang ada di Rejang Lebong baik sturuktur social, tingkat perkembangan masyarakat dan derajat asimilasi serta integritasnya dengan system dari luar, hal ini menjadi sangat menentukan struktur dan system peradilan adat tersebut berjalan dan dihormati oleh para pihak.

Hal lain juga tentang luas dan sempitnya ruang hidup yang mampu dibangun oleh peradilan adat sangat terantung sejauh mana ia mampu menjawab problem legitimasi dan problem relasinya dengan hukum negara, problem legitimasi ini lebih merujuk pada sejauh mana peradilan ini mampu menjawab tuntutan keadilan pada tingkat komunitanya, sementara problem relasi dengan negara lebih merujuk pada pembagian yurisdiksi dan membangun kesepakatan-kesepakatan politik di daerah yang memungkinkan system peradilan adat bisa berjalan.

Kebutuhan akan institusi dan kelembagaan lokal serta peradilan adat ini selain adanya peluang yang diberikan oleh negara serta adanya jaminan bagi keseimbangan juga berawal dari kebutuhan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, mengembangkan diri, mengawas jalannya proses pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di atas tanah ulayat dan bertujuan untuk mensejahterakan masyarakatnya dan menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Tekat yang kuat juga untuk kembali kepada system peradilan adat di anggap juga sebagai respon terhadap runtuhnya legitimasi sitem peradilan nasional. Maka kegiatan ini adalah untuk menginisiasi dan membangun kembali system peradilan adat dengan membangun pondasi yang kokoh agar peradilan adat ini memiliki legitimasi yang kuat seperti:

  • proses politik untuk menguatkan system peradilan di selengarakan secara demokratik,
  • dan dalam implementasi dari system peradilan adat ini mampu menghasilkan putusan-putusan yang terpercaya dan dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa dan para pihak lainnya.

Oleh: Erwin S Basrin

Putri Sedaro Putih - Asal Mula Pohon Enau ·

Oleh : Tun Jang
Cerita rakyat : Suku Rejang
(Bengkulu, Sumatera bagian Selatan)

Cerita ini berasal dari Suku Rejang. Dahulu di sebuah desa terpencil hidup tujuh orang bersaudara.Nasib mereka sungguh malang,mereka sudah menjadi yatim piatu semenjak si bungsu lahir.Tujuh saudara itu terdiri dari enam orang laki-laki dan seorang perempuan.Si bungsu itulah yang perempuan.Namanya putri sedoro putih.Tujuh orang bersaudara itu hidup sebagai petani dengan menggarap sebidang tanah di tepi hutan.Si bungsu sangat disayangi keenam saudaranya itu.Mereka selalu memberikan perlindungan bagi keselamatan si bungsu dari segala macam marabahaya.Segala kebutuhan si bungsu mereka usahakan terpenuhi dengan sekuat tenaga.


Pada suatu malam,ketika putri sedoro putih tidur,ia bermimpi aneh.Ia didatangi seorang laki-laki tua."Putri Sedoro Putih,kau ini sesungguhnya nenek dari keenam saudaramu itu.Ajalmu sudah dekat,karena itu bersiaplah engkau menghadapinya".
"Saya segera mati?" tanya Putri Sedoro Putih dengan penuh penasaran.
"Benar,dan dari pusaran kuburanmu, nanti akan tumbuh sebatang pohon yang belum pernah ada pada massa ini.Pohon itu akan banyak memberi manfaat bagi umat manusia." Setelah memberi pesan demikian lelaki tua itu , lenyap begitu saja. Sementara Putri Sedaro Putih langsung terbangun dari tidurnya.Ia duduk termangu memikirkan arti mimpinya.

Putri sedaro putih sangat terkesan akan mimpinya itu, sehingga setiap hari ia selalu terbayang akan kematiannya. Makan dan minum terlupakan olehnya. Hal ini mengakibatkan tubuhnya menjadi kurus dan pucat. Saudara sulung sebagai pengganti orang tuanya sangat memperhatikan Putri Sedoro Putih. Ia menanyakan apa sebab adiknya sampai bersedih hati seperti itu. Apakah ada penyakit yang di idapnya sehingga perlu segera di obati ? Jangan sampai terlambat diobati sebab akibatnya menjadi parah .

Dengan menangis tersedu-sedu Putri Sedoro Putih menceritakan semua mimpi yang dialamainya beberapa waktu yang lalu.
Kata sedaro putih,"Kalau cerita dalam mimpi itu benar, bahwa dari tubuhku akan tumbuh pohon yang mendatangkan kebahagiaan orang banyak, aku rela berkorban untuk itu."
"Tidak adiku, jangan secepat itu kau tinggalkan kami. Kita akan hidup bersama, sampai kita memperoleh keturunan masing-masing sebagai penyambung generasi kita. Lupakanlah mimpi itu. Bukankah mimpi sebagai hiasan tidur bagi semua orang ?", kata si sulung menghibur adiknya.

Hari-hari berlalu tanpa terasa. Mimpi itu pun telah dilupakan. Putri Sedoro Putih telah kembali seperti sempula, seorang gadis periang yang senang bekerja di huma. Hasil panen pun telah dihimpun sebagai bekal mereka selama semusim.

Pada suatu malam, tanpa menderita sakit terlebih dahulu Putri Sedaro Putih meninggal dunia. Keesokan harinya, keenam saudaranya menjadi gempar dan meratapi adik kesayangannya itu. Mereka menguburkannya tidak jauh dari rumah kediaman mereka.

Seperti telah diceritakan oleh Putri Sedoro Putih. Di tengah pusaranya tumbuh sebatang pohon asing. Mereka belum permah melihat pohon seperti itu. Pohon itu mereka pelihara dengan penuh kasih sayang seperti merawat Putri Sedaro Putih. Pohon itu mereka beri nama Sedaro Putih.

Disamping pohon itu, tumbuh pula pohon kayu kapung yang sama tingginya dengan pohon Sedaro Putih. Pohon itu pun dipelihara sebagai pohon pelindung .

Lima tahun kemudian. Pohon Sedaro Putih mulai berbunga dan berbuah. Jika angin berhembus, dari dahan kayu kapung selalu memukul tangkai buah Sedaro Putih sehingga menjadi memar dan terjadilah peregangan. Sel-sel yang mempermudah air pohon Sedaro Putih mengalir ke arah buah.

Pada suatu hari, seorang saudara Sedaro Putih berziarah ke kuburan itu. Ia beristirahat melepaskan lelah sambil memperhatikan pohon kapung selalu memukul tangkai buah pohon Sedaro Putih ketika angin berhembus. Pada saat itu, datang seekor tupai menghampiri buah pohon Sedaro putih dan menggigitnya sampai buah itu terlepas dari tangkainya. Dari tangkai buah yang terlepas itu, keluarlah cairan berwarna kuning jernih. Air itu dijilati tupai sepuas -puasnya. Kejadian itu diperhatikan saudara Sedaro Putih sampai tupai tadi pergi meninggalkan tempat itu.

Saudara sedaro putih mendekati pohon itu. Cairan yang menetes dari dari tangkai buah ditampungnya dengan telapak tangan lalu dijilat untuk mengetahui rasa air tangkai buah itu. Ternyata, air itu terasa sangat manis. Dengan muka berseri ia pulang menemui saudara-saudaranya. Semua peristiwa yang telah disaksikannya, diceritakan kepada saudara-saudaranya untuk dipelajari. Cerita itu sungguh menarik perhatian mereka.

Lalu mereka pun sepakat untuk menyadap air tangkai buah pohon sedaro putih. Tangkai buah pohon itu dipotong dan airnya yang keluar dari bekas potongan ditampung dengan tabung dari seruas bambu yang disebut tikoa. Setelah sutu malam, tikoa itu hampir penuh. Perolehan pertama itu mereka nikmati bersama sambil berbincang bagaimana cara memperbanyak ketika berziarah ke kubur putri sedaro putih.

Tikoa tabung yang di buat dari seruas bambu

Urutanya sebagai berikut. Pertama, menggoyang goyang kan tangkai buah pohon Sedaro Putih seperti dilakukan oleh angin. Lalu memukul tangkai buah itu dengan kayu kapung seperti yang terjadi ketika kayu kapung dihembus angin. Akhirnya, mereka memotong tangkai buah seperti dilakukan oleh tupai. Tabung bambu pun digantungkan disana.

Buah Sedaro Putih yang di kenal sebagai beluluk di tanah rejang

Ternyata, hasilnya sama dengan sadapan pertama. Perolehan mereka semakin hari semakin banyak karena beberapa tangkai buah yang tumbuh dari pohon Sedaro Putih sudah mendatangkan hasil.

Akan tetapi, timbul suatu masalah bagi mereka, karena air sadapan itu akan masam jika disimpan terlalu lama. Lalu, mereka sepakat untuk membuat suatu percobaan dengan memasak air sadapan itu sampai kental. Air yang mengental itu didinginkan sampai keras membeku dan berwarna kekuningan.

Semenjak itu, pohon Sedaro Putih dijadikan sumber air sadapan yang manis. Pohon itu kini dikenal sebagai pohon enau atau pohon aren. Air yang keluar dari tangkai buah dinamakan nira, sedangkan air nira yang dimasak sampai mengental dan membeku disebut gula merah.

*****

Keterangan :
Pohon enau atau pohon aren termasuk pohon yang banyak jasanya bagi manusia. Oleh karena itu, untuk memuliakannya banyak versi lain kisah legenda yang berkembang di nusantara tentang asal mula pohon enau ini, salah satunya Putri Sedaro Putih yang berasal dari cerita rakyat suku Rejang. Daerah kediaman suku Rejang saat ini mayoritas wilayahnya masuk propinsi Bengkulu meskipun beberapa daerahnya yang lain masuk Propinsi Sumatera Selatan, Lampung dan Jambi.

Manfaat pohon enau atau pohon aren antara lain sebagai berikut :
1. Buahnya (disebut beluluk atau kolang kaling) dapat dibuat manisan yang lezat atau campuran kolak.
2. Ijuk di buat sapu, tali untuk mengikat kerbau, keset kaki, atap dan kuas cat, dan dapat digunakan juga sebagai atap rumah.
3. Tulang daunnya dibuat sapu lidi dan se
nik (tempat meletakkan kuali atau periuk)

Disadur dari :
  1. Arsip Blog Tanah Rejang : http://rejang-lebong.blogspot.com
  2. Cerita lisan Bapak M. Halimi Habib, lahir di Curup 28 Juli 1942, pernah menjadi guru SMPN 1 Curup (1968-1975)
  3. Cerita rakyat dari Bengkulu, Jakarta Grasindo 1993
  4. http://www.zonamobile.net/forums/index.php?action=viewtpc,6565&sid=AQk0IWRiXLY&page=87
  5. Credit photo oleh author Curup Kami dari desa Sindang Jati

Sistem Pemerintahan Tradisional Rejang: Marga atau Kutai

Pengantar

Secara konseptual pemerintahan tradisional berarti sistem politik atau tata aturan hubungan antara pimpinan dengan yang dipimpin berdasarkan norma dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu suku bangsa. Hal ini berarti setiap suku bangsa di dunia memiliki sistem pemerintahan tersendiri sebelum adanya penyeragaman oleh penguasa yang lebih besar seperti negara.

Suku bangsa Rejang yang mendiami wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Lebong, Kepahiyang, Bengkulu Utara, dan beberapa daerah di Provinsi Sumatera Selatan memiliki sistem pemerintahan tradisional yang dikenal dengan Kutai (kuteui/kutei).

Tahun 1861 sistem pemerintahan marga diterapkan di wilayah Bengkulu.
Hukum yang dipakai ketika itu adalah Undang-Undang Simbur Cahaya yang diadopsi dari Undang-Undang Simbur Cahaya di Sumatera Selatan. Sistem pemerintahan marga berlaku hingga tahun 1980 setelah keluarnya UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Semua sistem pemerintahan terendah di seluruh Indonesia diseragamkan sehingga marga dan pemerintahan terendah lainnya di seluruh Indonesia diganti dengan sistem pemerintahan desa.

Tahun 1999 keluar UU No. 22 tahun 1999 dan diperbaharui dengan UU no. 32 tahun 2004 tentang sistem pemerintahan daerah. Undang-undang ini memberi peluang bagi setiap daerah untuk menerapkan kembali sistem pemerintahan tradisional mereka dan diakui dalam tata hukum Indonesia.

BMA Kabupaten Rejang Lebong telah membuka wacana dan memberi usul kepada Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong untuk kembali menerapkan sistem pemerintahan marga di wilayah Kabupaten Rejang Lebong.

Marga bukan berasal dari akar budaya rejang, namun karena wacana yang dimunculkan adalah kembali ke sistem marga, maka kita coba diskusikan untung ruginya kalau sistem pemerintahan marga diterapkan termasuk langkah-langkah apa yang harus ditempuh.

Dasar

UUD 1945 amandemen Amandemen tahun 2000 Bab VI Pasal 16 ayat (2) dan Bab I Pasal 2 ayat (9) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya pernyataan ini merupakan kesempatan bagi setiap daerah untuk menggali kembali aspek-aspek lokalitas sebagai identitas daerah tersebut.

Desa berdasarkan undang-undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Undang-Undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.


Konsep Marga
Pemerintahan Marga merupakan susunan masyarakat yang berdasarkan adat dan hukum adat, serta mempunyai wilayah tertentu. Marga hidup menurut adat yang berlaku sejak Marga itu mulai dibentuk jauh di waktu yang lampau. Adat menjiwai kehidupan warganya, masyarakat dan pemerintahnya. Selain itu masyarakatnya juga mempunyai ikatan lahir batin yang kuat, yang sejak awalnya telah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Hak Otonom). Dilihat dari bentuk pemerintahannya, Marga merupakan komunitas asli atau yang kita sebut masyarakat adat yang berfungsi sebagai self governing community, yaitu sebuah kominitas sosio-kultural yang bisa mengatur diri sendiri. Mereka memiliki lembaga sendiri, perangkat hukum, dan acuan yang jelas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, serta tidak memiliki ketergantungan terhadap pihak luar, karena memang mereka bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Selain itu pemerintahan Marga juga memiliki ruang lingkup kewenangan, meliputi kewenangan perundangan, kewenangan pemerintahan/pelaksanaan, kewenangan peradilan dan kewenangan kepolisian. Sehingga sistem pemerintahan Marga ini dapat dipahami sebagai Pertama, Marga adalah masyarakat hukum, berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintahan terdepan di tingkat lokal; Kedua Marga, berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat; Ketiga, susunan pemerintahan Marga ditentukan oleh hukum adat melalui konstitusi/undang-undang Simbur Tjahaja (peraturan tertulis yang dibuat oleh Kesultanan Palembang Darusalam); Kempat, pemerintah Marga didampingi Dewan Marga membuat peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat; dan Kelima, pemerintah Marga dapat menetapkan sanksi atas peraturan. Dalam pemerintahan Marga aturan-aturan yang dipakai mengacu pada undang-undang Simbur Cahaya, begitu juga dalam pengaturan pemerintahannya. Pemerintahan Marga dalam undang-undang Simbur Cahaya terdiri dari beberapa dusun, sedangkan dusun terdiri dari beberapa kampung. Masing-masing unit sosial ini dipimpin oleh seorang Pasirah, Kerio dan Penggawa. Pembarap ialah kepala dusun (Kerio) dimana seorang pasirah tinggal. Seorang Pembarap mempunyai kekuasaan untuk menggantikan seorang Pasirah apabila Pasirah berhalangan hadir dalam suatu acara/kegiatan. Pasirah dan Kerio dibantu oleh Penghulu dan Ketib dalam penanganan urusan religius atau keagamaan. Kemit Marga dan Kemit dusun ditugaskan untuk mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan urusan keamanan.

Pemerintahan Marga itu sesungguhnya dipahami sebagai:
  • 1) Marga adalah masyarakat hukum, berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintahan terdepan di tingkat lokal;
  • 2) Marga berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat;
  • 3) Susunan pemerintahan Marga ditentukan oleh hukum adat melalui konstitusi Simbur Tjahaja;
  • 4) Pemerintah Marga didampingi Dewan Marga membuat peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat;
  • 5) Pemerintah Marga dalam menetapkan sanksi atas peraturan. Dapat dipahami bahwa tugas dan kewenangan Marga meliputi kewenangan peradilan, kewenangan kepolisian, hak ulayat, serta sumber penghasilan Marga

Menurut Abdullah Sidik sistem marga mulai masuk ke Bengkulu pada tahun 1861 yang diterapkan oleh Asisten Residen Belanda, J. Walland yang dipindahkan dari Palembang. Sistem marga ini berasal dari Kesultanan Palembang yang merupakan hasil bentukan Sultan Cindeh Balang (1662 – 1706).

Konsep marga ini diterapkan oleh Belanda untuk mengatur dusun-dusun yang begitu banyak di wilayah suku bangsa Rejang. Untuk pertama kalinya wilayah Lebong dibagi dalam 5 marga, yaitu: Marga Jurukalang, Marga Bermani, Marga Selupu, Marga Suku Semelako, dan Marga Aman. Namun berdasarkan keputusan Residen Bengkulu No. 69 tanggal 18 Februari 1911, Marga Bermani dan Marga Jurukalang disatukan menjadi marga Bermani Jurukalang. Sedangkan wilayah Rejang dibagi dalam 4 marga, yaitu marga merigi, marga selupu, marga bermani, dan marga jurukalang. Berbeda dengan di wilayah Lebong, di wilayah Rejang marga Bermani dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Bermani Ulu, dan Bermani Ilir. Demikian juga dengan Marga Selupu dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Selupu Rejang, dan Marga Selupu Baru. Sedangkan Marga Merigi juga dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Merigi Kelobak, dan Marga Merigi Kelindang. Wilayah Lais dibagi dalam 5 marga, yaitu: Marga Merigi, Marga Bermani, Marga Selupu, Marga Jurukalang, dan Marga Semitul .

Pada tahun 1961, ketika wilayah Bengkulu masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, Abdullah Sidik mencatat ada 25 marga di wilayah Bengkulu, yaitu: Marga Suku IX (di wilayah Lebong), marga Suku VIII (di wilayah Lebong), Marga Bermani Jurukalang ( di wilayah Lebong), Marga Selupu Lebong (diwilayah Lebong), Marga Bermani Ulu (di wilayah Lebong), Marga Selupu Rejang (di wilayah Rejang), marga Merigi (di wilayah Rejang), marga Bermani Ilir (di wilayah Rejang), marga Sindang Beliti (di wilayah Rejang), marga Suku Tengah Kepungut (di wilayah Rejang), marga Selupu Baru (di wilayah Pesisir), marga Selupu Lama (di wilayah Pesisir), marga Merigi Kelindang (di wilayah Pesisir), marga Jurukalang (di wilayah pesisir), marga Bang Haji (di wilayah Pesisir), marga Semitul (di wilayah Pesisir), marga Bermani Sungai Hitam (di wilayah Pesisir), marga Bermani Perbo (di wilayah Lais), marga Bermani Palik (di wilayah Lais), marga Air Besi (di wilayah Lais), marga Kerkap (di wilayah Lais), marga Lais (di wilayah Lais), marga Air Padang (di wilayah Lais), marga Bintunan (di wilayah Lais), marga Sebelat (di wilayah Lais).

Sistem pemerintahan marga dinilai sebagai sistem pemerintahan yang mendukung kearifan lokal "Tumbak Berambai Payung Agung" Rajo Nayung Ngen Payung Agung, Ni'ing Ngen Kojoa Berumbai Raja dipayungi dengan payung kebesarannya yang berwarna kuning emas dan diiringi dengan tombak berumbai.(Payung Agung, teine Rajo kaka ite belindoak ngen belindep, kulo kakae menyaghet, dik benea mbeak saben madeak kebeneane, kunyeu nyabei to'oakne.) Payung Agung artinya bahwa Raja adalah tempat rakyat berlindung dan bersandar, jangan takut mengungkapkan sesuatu yang benar, ikhlaskan nyawa sebagai taruhannya.( Kujua berumboi, teine baso Rajo jemagei anak kutei awei o kulo kutei latet kundei mosoak, semlang anak kutei damai, tun dik saleak timo balesne). Tombak berambai, artinya bahwa Raja menjaga rakyatnya. Raja memberikan jaminan keamanan kepada rakyatnya, demikian juga wilayahnya dari ancaman musuh, menciptakan masyarakat damai, orang yang bersalah, terimalah balasan hukuman sebagai ganjarannya.

Adat Rejang mengajarkan : "Kembin bakoa tuging, bakoa penan melughuk, tuging medik kaleu si ja'ang. Kaleu bepekat kenok tun beilmeu, lot ei dipoa kundei, do'oba tungheu talang. Mbeak megis tun bolon, mbeak kulo kembus barang bik ngembung, kaleu kumu je tetegong adat ca'o yo, keme semerpet. Ayak bepekat minai takot petulung ideu japei magea tun tuwei. ”Bawalah bakul sirih, bakul tempat mengumpulkan hal-hal yang berkenaan dengan adat, diupayakan dirapatkan apabila jarang. Jika sudah sepakat, panggillah orang pintar dari hulu, ilir dan seberang, itulah penghuni dusun. Janganlah menyakiti orang sakit, jangan pula meniup barang yang sudah menggelembung, jikalau kamu berpegang pada adat ini, kami menyertai. Sebelum sepakat mintalah restu kepada para orang tua.


Kembali Ke Pemerintahan Marga: sebuah wacana
Seperti yang telah diusulkan oleh BMA Kabupaten Rejang Lebong untuk kembali ke sistem pemerintahan marga, oleh Pemkab Rejang Lebong belum direspon dalam bentuk aksi sehingga masih sebatas wacana.

Mengacu kepada penjelasan tentang konsep marga dan wacana kembali ke marga, saya justru cendrung mengarahkan bagaimana kalau kembali ke sistem pemerintahan asli rejang dengan beberapa modifikasi tentunya. Karena konsep pemerintahan dan kepemimpinan yang diuraikan tadi merupakan budaya rejang. Bagaimana kalau sistem pemerintahan Kutai (kuteui atau kutei)?

Kutai merupakan sistem kesatuan masyarakat dan juga sistem pemerintahan karena dalam satu kutai terdapat pemimpin beserta perangkatnya dengan sistem hukum yang berlaku di wilayahnya.

Siddik menyebutkan bahwa di daerah Rejang dan Lebong, pembagian marga sejalan dengan pembagian petulai. Oleh karena itu petulai tidak memiliki kekuasaan dalam marga melainkan kuteui. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum adat asli Rejang adalah Kuteui dan bukan Marga . Dengan konsep yang diterapkan oleh Belanda tersebut, maka marga dipakai sebagai konsep kesatuan territorial pemerintahan di wilayah Rejang. Padahal bila dilihat struktur masyarakat Rejang asli, tidak mengenal istilah marga, melainkan kutei. Artinya dalam struktur yang berkuasa di Rejang dan Lebong bukanlah petulai, tetapi kuteui dengan penguasanya Tuwai Kuteui. Abdullah Sidik menegaskan bahwa jika pada mulanya kuteui adalah satu masyarakat Hukum Adat tunggal dan genealogis, dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan di bawah pimpinan tuai kuteui, maka sekarang kuteui yang disebut dusun itu merupakan satu masyarakat hukum adat bawahan yang territorial di bawah kekuasaan seorang kepala marga yang bergelar pasirah, kepala dusun disebut proatin atau depati atau ginde, dan semuanya takluk kepada kekuasaan pasirah mereka masing-masing. Sebagai pemimpin kuteui dipilih dari penduduk asli kuteui tersebut, yaitu suku yang membuka perkampungan/dusun, dan diwariskan secara turun temurun.

Pada kesempatan ini, saya serahkan ke forum untuk melihat sistem pemerintahan mana yang bersumber pada budaya rejang. Sistem marga atau kutai sebenarnya bisa dipakai asalkan mengacu pada konsep-konsep budaya rejang. Bila disepakati kutai sebagai satu kesatuan teritorial dan hukum masyarakat rejang yang berdiri sendiri, maka kutai bisa dijadikan sistem pemerintahan terendah di bawah camat. Hal ini terutama dengan telah ditetapkannya pemberlakuan hukum adat dan pembentukan jenang kutai di setiap desa dan kelurahan di Kabupaten Rejang Lebong. Namun bila istilah ini yang dipakai, maka istilah ini hanya berlaku di wilayah Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiyang dan Lebong (bila pemkab sepakat).

Jika dalam rangka penyeragaman di tingkat Provinsi Bengkulu, istilah marga dapat dipakai. Namun sedikit kesulitan mengingat wilayah marga yang pernah ada sudah terbagi dalam beberapa desa dalam satu atau dua kecamatan. Bila beberapa desa/kelurahan tadi dijadikan marga maka wilayah kecamatan menjadi satu marga atau bagaimana desa atau kelurahan yang masuk wilayah kecamatan lain. Saya kira ini penting untuk sama-sama kita diskusikan.

Upaya ke Depan

Perlu ada kesepakatan antara masyarakat adat, pemerintah kabupaten, dan masyarakat umum tentang wacana kembali ke pemerintahan tradisional (option: marga atau kutai).

Terlepas dari istilah apa yang dipilih, diperlukan regenerasi, kaderisasi, dan kepemimpinan sebagai jaminan keberlanjutan institusi adat. Penghapusan sistem kutai tahun 1861, penerapan dan penghapusan marga pada tahun 1980 telah memutus regenerasi yang paham tentang kutai dan marga sehingga harus ditangani oleh para pengurus adat dan perlu menumbuhkan dan mentransformasikan kesadaran lokalitas di kalangan generasi muda berkaitan pergantian kepemimpinan ke depan. Terbangunnya sistem kepemimpinan kuat dan demokratis, dalam konteks pemerintahan tradisional ditandai oleh adanya kepercayaan (trust) dan pengakuan (legitimate) oleh warga masyarakat. Jikalau selama ini kepemimpinan hanya bertradisi kharismatik-tradisional, perlu pula dilengkapi kemampuan manajerial-rasional bersendikan demokrasi komunitas adat. Proses pergantiannya pun dilakukan secara terbuka, sebagaimana tradisi pemilihan pemimpin tradisional.

Dibutuhkan kemampuan organisasi sosial adat untuk mengelola sumber daya ekonomi secara otonom. Terutama berkaitan penyediaan material guna membiayai dan mendanai institusi adat menuju kesejahteraan warganya. Mulai dari kepemilikan kekayaan sumber daya alam berupa tanah, hutan, ladang, perairan, jaringan ekonomi, atau lainnya.

Adanya kapasitas manajemen konflik untuk menjaga dinamika hubungan sosial di lingkungan adat. Organisasi adat (melalui pemangku adat atau warganya) memerlukan pengetahuan dan keterampilan manajemen konflik untuk mengantisipasi sejumlah kecenderungan sengketa yang terjadi di komunitas adat. Mengingat, potensi konflik di masyarakat adat sangat besar jikalau dikaitkan dengan konteks perubahan struktur sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang kian tersegregasi. Baik internal antarwarga masyarakat, antarapenguasa adat dan warganya, atau antaradat satu dengan yang lainnya.

Terciptanya jaringan antaradat menuju kerjasama di tingkat lokal. Jaringan diharapkan akan bermanfaat bagi terbangunnya kerjasama antarkomunitas ketika berinteraksi, sehingga proses ini dapat menghasilkan keuntungan bagi masing-masing adat, terutama mewujudkan kesejahteraan warganya.
Perlunya perencanaan program oleh organisasi adat. Dengan dilakukan secara partisipatif, program-program itu sebagai penopang menjaga keberlanjutan organisasi adat, yang nantinya dimanfaatkan warganya. Kendatipun dalam bentuk yang sederhana, proses ini akan mendidik pemangku dan warga adat agar bisa mandiri dan kuat dalam institusi yang dimilikinya.

Penutup

Sistem pemerintahan adalah sarana untuk me-manage masyarakat. Sistem pemerintahan yang berakar dari budaya masyarakatnya merupakan satu kesatuan kuat.

Wacana kembali ke sistem pemerintahan tradisional harus dipelajari dengan hati-hati karena sistem politik, lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat tidak sama seperti sistem pemerintahan tradisional tersebut diterapkan sehingga harus ada modifikasi. Sehingga Apa yang dikatakan revitalisasi sistem pemerintahan tradisional dapat tercapai.

Tulisan ini sekedar pengantar diskusi, kesepakatan di forum ini merupakan acuan untuk langkah selanjutnya.

Terima kasih.

Daftar Rujukan

  • Aniwijaya, Lahmudin. 2004. “Kearifan Tradisional Lembaga Kutei di Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Makalah pada kegiatan Sosialisasi Nilai-Nilai Budaya Daerah Kabupaten Rejang Lebong, yang diselenggarakan oleh BKSNT Padang di Curup 15 – 16 September 2004.
  • Arios, Rois Leonard. 2008. Kutai : Konsep dan Eksistensinya Pada Masyarakat Rejang. Jakarta : Depbudpar
  • Benardie, Hakim. 2004. ”Bengkulu dalam Lintasan Sejarah Phamnaläyu”, dalam Sarwit Sarwono, dkk. (ed). 2004. Bunga Rampai Melayu Bengkulu. Bengkulu: Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu. Hal. 322 – 365.
  • BMA Kabupaten Rejang Lebong. 2005. “Kelpiak Ukum Adat Ngen Riyan Ca’o Kutai Jang Kabupaten Rejang Lebong”. Belum diterbitkan
  • Delais, H. dan J. Hassan. 1933. Tambo Bangkahoeloe. Batavia Centrum: Balai Pustaka
  • Hoesein, Mohammad. 1932. Naskah Tembo Rejang Empat Petulai. Tanpa Penerbit.
  • Hoesin, Kiagoes. 1938. Koempoeloan Oendang-Oendang Adat Lembaga Dari Sembilan Onderafdeelingen Dalam Gewest Bengkoelen. Bengkoelen: Drukkerij “Tjan”.
  • Hoesin, Mohammad. 1932. Naskah Tembo Rejang Empat Petulai. Tanpa Penerbit
  • Kadirman. 2004. Ireak Ca’o Kutei Jang. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Setyanto, Agus. 2001. Elite Pribumi Bengkulu : Perspektif Sejarah Abad Ke-19. Jakarta : Balai Pustaka.
  • Sidik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Jakarta: Balai Pustaka.
http://rejang-lebong.blogspot.com

Pengertian Petulai

Untuk menyelami dan memahami Hukum Adat suku bangsa Rejang, memang diperlukan benar pengetahuan tentang sejarah suku bangsa itu. Sebelum kita membicarakan Hukum Adat Mereka, perlu rasanya diterangkan lebih dahulu, seluk beluk atau susunan masyarakat Hukum Adat mereka, karena sangatlah erat sekali hubungan antra kedua persoalan tersebut. Adanya Hukum Adat disebabkan oleh adanya Masyarakat Hukum Adat, karena Masyarakat Hukum Adat merupakan satu himpunan manusia yang tunduk pada satu kesatuan hukum yang dijalankan oleh penguasa yang timbul sendiri dari Masyarakat Hukum Adat itu.

Dalam sejarah kita melihat bahwa asal usul tempat kediamana sukubangsa Rejang ialah di wilayah LEBONG sekarang. Mereka berasal dari Empat petulai, yaitu Jurukalang, Bermani, Selupu dan Tubai atau Tubei.

Perkataan mego yang disamakan dengan perkataan petulai oleh beberapa penulis, tidak asli dan merupakan terjemahan perkataan marga ke dalam Bahasa Rejang. Ini terbukti, karena perkataan mego baru muncul di dalam buku `De REDJANG` dari almarhum HAZAIRIN (1936), yang dikutipkan dari sebuah tambo karangan Muhamad Hoesein yang menyamakan petulai dengan bang-mego atau marga.

Kemudian ada pula sarjana Barat yang turut berpendapat bahwa petulai sama dengan mego, dan ini sebenarnya membingungkan dan juga tidak tepat, karena baik buku-buku karangan orang-orang inggris seperti Marsden dan Raffles maupun karangan orang - orang Belanda seperti Rees dan Swaab, tidak menyebut perkataan mego.

Demikian juga menurut penelitian saya sendiri di wilayah-wilayah Lais, Rejang dan Lebong, perkataan mego tidak di kenali oleh orang tua-tua suku rejang sebagai sebutan `clan` mereka. Yang mereka kenal adalah perkataan petulai sebagai sebutan.

Apakah yang dimaksud dengan Petulai?

Petulai adalah kesatuan kekeluargaan yang rimbul dari sistem unilateral (disusurgalurkan kepada satu pihak saja), dengan sistem garis keturunannya yang Patrilineal (penyusur-galuran menurut garus bapa) dan cara perkawinannya yang eksogami, sekalipun mereka berada terpencar pencar dimana mana.

Disebut unilateral patrilineal, karena memperhitungkan garis keturunan sepihak saja, yaitu pihak bapak. Perhatikan dari perkawinan dari Biku Bermano dengan putri Senggang anak Rajo Megat pengganti Bikau Sepanjang Jiwo, keturunannya masuk garis keturunan Bikau Bermano dan masuk kesatuan kekeluargaan petulai Bermani.

Kita lihat pula perkawinan dari Bikau Bembo dengan putri Jenggai anak Bikau Bermano, keturunannya masuk garis keturunan Bikau Bembo dan kesatuan kekeluargaan Petulai Jurukalang.

Demikian juga dengan perkawinan Rio Taun dari petulai Jurukalang dengan putri Jinar Anum dari petulai Tubeui, keturunannya masuk petulau Jurukalang.

Disebut eksogam, karena ada larangan kawin dengan anggota sepetulai. Ini ternyata dari perkawinan-perkawinan tersebut di atas dan dari denda maskuteui di kemudian hari sebagai hukuman atas sesuatu pelanggaran karena kawin dengan orang sepetulai.

Seterusnya larangan manari antara gadis/bujang petulai Tubeui dengan bujang/gadis petulaiMerigi memperkuat cara perkawinan eksogami di sukubangsa rejang dan memang sudah sewajarnya harus demikian, karena eksogami adalah syarat mutlak bagi timbulnya petulai sebagai `clan`.

Sistem kekeluargaan yang patrilineal inilah merupakan tulang punggung dari masyarakat Rejang, yang di bina dari keturunan petulai mereka masing masing, yang semuanya terikat satus ama lain menurut garis laki-laki. Sistem kekeluargaan ini mempengaruhi sistem kemassyarakatan dan akhirnya ini mempengaruhi pula bentuk kesatuan kekuasaan dalam masyarakat.(disarikan dari buku Hukum Adat Rejang, admin)

Reference:
1. Tanah rejang http://rejang-lebong.blogspot.com
2. Prof. Abdulla Siddik, Hukum adat rejang, 1980 hal 101-103
3. Ter Haar, Adat Law in Indonesia (terjemahan ) 1962 hal.171
4. Hazairin, De Redjang hal 1 dan Muhammad Hoesein, Tembo naskah
5. M.A. Jaspan, From Patriliny to Matriliny, thesis, canberra 1964 hal 140, 144
6. Hazairin, Hendak kemana hukum islam, 1960, hal 9.

Membangun Obyek Wisata Danau Tes ·


Sungguh suatu keberuntungan bagi kabupaten Lebong yang dibentuk berdasarkan UU No 39 tahun 2003 itu mempunyai potensi alam yang sangat refresemtatif untuk dikembang-bangunkan berbagai obyek wisata alam. Apalagi, dari 192.424 ha luas wilayah, 134.834,55 ha merupakan kawasan konservasi yang termasuk bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang luasnya mencapai 111.035 ha.
Ditambah lagi wilayah Kabupaten Lebong memiliki hutan lindung seluas 20.777, 40 ha dan hutan cagar alam seluas 3.022,15 ha. Memang secara produktivitas aspek-aspek kegiatan perekonomian mengalami kendala dengan adanya penetapan TNKS oleh SK Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 yang didukung oleh SK Menteri Pertanian dan Perkebunan RI No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan kawasan hutan lindung Rimbo Pengadang Register 42. sejarah penetapan kawasan hutan lindung yang mencakup wilayah Kabupaten Lebong itu dimulai pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai kawasan hutan Boven Lais atau disebut juga sebagai hutan batas Boswezen (BW).

Posisi itulah yang sering dijadikan alasan pemerintah kabupaten Lebong (Pemkab Lebong) untuk tidak bisa membangun wilayah itu semaksimal mungkin. Alasan itu sering menjadi sikap pesimis untuk memajukan Lebong, terutama meningkatkan kemajuan masyarakatnya di semua sektor kegiatan pembangunan. Namun demikian, kita tidak boleh terpaku dengan statuta kawasan hutan yang ada di Kabupaten Lebong itu. Apalagi bersikap pesimis.
Kabupaten Lebong dapat dikembangkan melalui pembangunan obyek wisata alam yang sangat besar pengaruhnya terhadap Pendapatan Asli Daerah itu. Sayangnya, hingga sekarang Pemkab Lebong belum membuat proposal tentang potensi obyek wisata daerah itu secara baik. Beberapa obyek wisata di Lebong yang dapat dikembangkan, memungkinan terjadi percepatan proses peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah itu.
Pengembangan dalam pembangunan sektor pariwisata di Lebong dapat dimasukkan ke dalam 3 (tiga) kelompok. Pertama, obyek wisata alam. Di mana alam Lebong yang sangat mempesona itu, dapat dikembangkan dan dibangun obyek wisata yang berskala Internasional. Misalnya keberadaan Danau Tes yang terletak antara Desa Kotadonok dengan Desa Tes (ibukota Kecamatan Lebong Selatan). Danau terbesar di provinsi Bengkulu itu mempunyai panjang sekitar 5 km dengan lebar rata-rata 200 meter.
Danau Tes yang mempunyai potensi ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, jika dikembangkan menjadi obyek wisata. Kabupaten Lebong mempunyai peluang yang besar untuk meningkatkan PADnya melalui sektor pariwisata. Walaupun diusia yang hampir 10 tahun ini, Pemkab Lebong tidak mempunyai sense of build, khusus untuk pembangunan atau pengelolaan sektor wisata. Sementara mengolah daerahnya sendiri masih belum terorganisir secara proporsional dan profesional sebagaimana daerah kabupaten lainnya yang seusia dan lebih maju.

Profil Danau Tes
Danau Tes mempunyai kekayaan cerita rakyat berbentuk; legenda, mitos, kepercayaan dan sejarah nenek moyang orang lebong. Danau yang terletak di 2 (dua) wilayah kemasyarakatan (marga), yaitu Marga Jurukalang dan Marga Bermani itu—kemudian kedua marga itu digabungkan dalam satu marga (hingga sistem kemargaan dihilangkan) menjadi Marga Bermani Jurukalang. Wilayah Marga Bermani Jurukalang itu (salah satu asal suku Lebong) membawahi mulai dari Desa Tapus (Topos, desa tertua di Lebong) sampai Desa Turun Lalang. Sekarang secara administratif Marga Bermani Jurukalang terbagi ke dalam 2 (dua) wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Rimbo Pengadang dan Kecamatan Lebong Selatan (awalnya hanya wilayah Kecamatan Lebong Selatan).
Danau Tes yang merupakan perut Bioa Ketawen (Air Ketahun) merupakan wilayah sumber mata pencarian penduduk sekitarnya, termasuk sepanjang Air Ketahun yang melintasi Kabupaten Lebong. Di danau itu, masyarakatnya dapat mencari ikan dengan pancing, jala, bubu, jaring, mengacea (mancing di air deras), tajua (pancing yang dipasang malam hari), menyuluak (mencari ikan di malam hari dengan peralatan lampu petromak, tombak ikan bermata tiga (trisula) dan menggunakan perahu) dan sebagainya alat penangkap ikan khusus masyarakat Kotadonok dan sekitarnya.
Bila siang hari, ketika melintas di jalan raya di pinggir Danau Tes, dengan jelas dapat dilihat masyarakat mencari ikan di tengah Danau. Sedangkan yang mencari ikan dengan peralatan kecil, biasanya berada di pinggir-pinggir danau.
Di sisi lain, Danau Tes merupakan sarana transportasi air bagi penduduk Kotadonok yang mengolah areal persawahan di kawasan sawah Baten (nama arean pertanian yang terletak diseberang Desa Tes, Taba Anyar, Mubai dan Turun Tiging). Alat transportasi penduduk ke sawah dengan jarak tempuh sekitar 4 km adalah menggunakan perahu kayu. Demikian juga, untuk mengangkut hasil panen, perahu adalah alat transportasi yang digunakan sejak zaman dahulu kala.
Di sepanjang jalan di tepi Danau Tes yang menghubungkan Desa Kotadonok dengan Ibukota Kecamatan Lebong Selatan, Tes sepanjang 5 km—yang jalannya adalah jalan utama di Kabupaten Lebong. Dapat disaksikan betapa indahnya panorama Danau Tes. Di sana ada tempat wisata bernama Pondok Lucuk (Pondok Runcing; karena bentuk bangunannya sejak zaman Kolonial adalah atapnya mengerucut ke atas dengan luas bangunan sekitar 6 X 6 meter. Lokasinya berada di sebelah kanan arah jalan dari Kotadonok ke Tes, tepat berada di pinggir Danau Tes.

Tidak jauh dari lokasi itu, terdapat sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MtsAin) Kotadonok. Dan, di puncak bukit sebelah kiri, terdapat keramat yang populer disebut dengan nama Tepat Taukem (tepat= keramat, taukem= nama tempat). Di Tepat Taukem itu terdapat besi bundar. Yang konon kabarnya, bagi anak haram (orang yang dilahirkan karena perbuatan zina di luar ikatan perkawinan yang saha), tidak akan mampu mengangkat bola besi tersebut.
Di tempat yang sama terdapat peninggalan sejarah berupa meriam besi. Daerah Tepat Taukem saat ini sudah tumbuh subur hutan pinus yang ditanam pada zaman orde baru sebagai bentuk penghijauan daerah tersebut. (bersambung)
www.rejang-lebong.blogspot.com
Author: Naim Emel Prahana
Photo: Kompas, Geuloogo,Arga dan Tempo

Banjir Lebong Landa 13 Desa


15 mei 2009. Berdasarkan hasil pendataan Satlak PBA Lebong, tak ada korban jiwa dalam bencana itu. Namun 5 rumah hanyut diseret air bah. Banjir itu juga menyebabkan 2 sekolah rusak. Dua sekolah itu diketahui SDN 1 Semelako dan SMPN 2 Semelako, Lebong Tengah.

Diketahui, desa terendam banjir di Lebong Utara adalah Desa Talang Ulu, Desa Kampung Muara Aman, Desa Lebong Donok dan Kelurahan Pasar Muara Aman. Di Kecamatan Amen, desa Desa Muara Aman. Sedangkan di Lebong Tengah ada 8 desa yaitu Semelako, Tanjung Bunga, Payaembik, Karang Anyar, Muara Ketayu, Pagar Agung, Embong Panjang dan Talang Sakti.

Banjir melanda 4 desa di LU dan 1 desa di Amen berasal dari sungai Amen. Sungai ini bertemu dengan Sungai Air Kotok sehingga airnya meluber dan membanjiri Desa Lebong Donok dan Kelurahan Pasar Muara Aman–persisnya kawasan Pasar Melintang.
Sementara di Lebong Tengah, banjir yang melanda rumah warga berasal dari Sungai (Bioa) Nge’ai Semelako. Sumber air Bioa Nge’ai itu dari gunung Cawang, yang kini menjadi areal perkebunan warga.

Sejauh ini banjir sudah mulai surut. Pasca banjir, warga tampak sibuk membersihkan lumpur dan sampah yang dibawa banjir. Saya terpaksa izin tak masuk kantor karena harus membantu keluarga membersihkan sampah dan lumpur akibat banjir kemarin, ujar seorang pejabat Pemkab.

Tak cuma warga yang sibuk bersih-bersih. Puluhan siswa juga tampak sibuk membersihkan ruang kelas mereka yang kotor digenangi air dan lumpur. Pemandangan itu terjadi di SDN 1 Semelako dan SMPN 2 Semelako.
Hari ini proses dan kegiatan belajar-mengajar (KBM) tak bisa berjalan seperti biasa. Anak-anak dan guru harus gotong-royong membersihkan kelas. Saya kira, besok (hari ini, red), KBM juga belum bisa efektif, ujar Kepala SDN 1 Semelako Hj Herawati ZA Ama Pd yang ditemui BE di ruang kerjanya.

Camat LU Fahrurrozi SSos dan Camat LT Drs Hosen Basri yang ditemui terpisah menyebut lima rumah warga yang hanyut itu masing-masing tiga di LU dan 2 di LT.Dua di Semelako masing-masing milik orang tua Nasution dan Nurdin alias Maneng. Dapur rumah mereka hanyut dibawa arus banjir, kata Hosen Basri.

Bupati Lebong Drs H Dalhadi Umar BSc melalui Sekkab Zainul Amin Yasik SE mengatakan pihaknya belum merinci kerugian materiil yang ditimbulkan banjir. Meski laporan kerusakan dan kerugian sementara sudah disampaikan para camat, namun laporan itu masih perlu diverifikasi.

Kami sudah menurunkan Dinas PU, Dinas Sosial, Kesbangpol dan para camat untuk mendata sekaligus merinci secara tepat kerusakan dan kerugian yang diderita warga. Nanti direkap lagi untuk kemudian dirumuskan langkah-langkah apa yang harus dilakukan, kata Amin, sapaan Zainul Amin Yasik.

Zainul mengimbau masyarakat untuk tetap waspda. Sebab, hujan yang masih kerap turun menjelang sore hingga malam, masih berpotensi menyebabkan banjir. Terutama warga yang rumahnya berada di pinggir sungai, kata Amin.

Bronjong
Wakil Ketua II DPRD Lebong Ir Amrozi Ishak, yang rumahnya juga tak luput dari hantaman banjir, meminta Pemkab Lebong melalui Dinas PU untuk merealisasikan permintaan warga Desa Semelako, yakni membangun bronjong di sepanjang aliran sungai Nge’ai sebagai salah satu cara meminimalkan ancaman banjir. Bronjong itu salah satu solusi agar ke depan, banjir tidak meluber ke rumah-rumah penduduk, kata dia.

Sementara kades Semelako Ir Akwaluddin mengatakan, selain bronjong, Pemkab juga perlu membangun kembali jembatan Semelako. Sebab, salah satu pondasi/penyangga jembatan yang ada kini ditengarai ikut memicu air banjir meluber ke jalan raya dan rumah warga.

Ada satu penyangga yang letaknya persis di tengah. Ukurannya juga relatif besar sehingga batang
kayu atau bambu kerap menumpuk dan membuat aliran air tidak lancar lantas mengalir ke jalan dan rumah di sekitar sungai, ujar Akwaluddin.

Rutin
Bagi masyarakat Lebong, terutama yang tinggal di sepanjang pinggir sungai, bencana banjir, agaknya, bukan lagi ancaman yang menakutkan. Terbukti, meski berkali-kali dihantam derasnya air, tak banyak yang memilih meninggalkan rumah, misalnya pindah ke wilayah yang jauh dari bibir sungai. Bahkan banjir yang datang secara periodik, mengajarkan mereka cara luput dari maut.

Seingat saya, banjir besar di desa ini terjadi kelang 5-6 tahun sekali. Paling lama 10 tahun sekali. Sudah rutin begitu, kata Ir Akwaluddin, Kades Semelako.
Pengakuan serupa juga diungkap Hj Herawati ZA, Ama Pd, warga Semelako yang kini menjabat kepala SD 01 Semelako, Lebong Tengah. Yang lalu-lalu lebih parah dari yang kemarin, tambah ibu paruh baya itu mengenang.

Bencana banjir dua hari lalu, kata Akwaluddin, memang merusak dua rumah warganya. Belasan warga lainnya juga menderita kerugian materiil bernilai puluhan juta rupiah. Mereka kehilangan ternak unggas dan ikan. Semuanya lenyap disapu air banjir. Puluhan hektar sawah yang baru sebulan ditanami padi juga rusak. Ada yang tertimbun koral. Ada juga yang hanyut, kata dia.

Saya sendiri kehilangan 20 ribu bibit ikan mas yang saya titip di kolam tetangga bernama Satilah, ujar Samsu Komar, Kaur Umum Desa Semelako yang ditemui terpisah saat mendata rumah warga yang rusak diterjang banjir. Dalam laporan yang disampaikan ke kantor desa, Satillah merugi Rp 4,5 juta.

Nurdin alias Kameng (70), warga setempat, menuturkan, sebelum banjir menghanyutkan dapur rumah berikut tungku masak dan perabotan dapur lainnya, ia baru saja pulang dari sawah. Kini memang masa-masa turun ke sawah. Sudah sebulan ini menanam padi, cerita Kameng usai menunjukkan kondisi rumahnya yang berjarak kurang lima meter dari bibir sungai Ngeai Semelako.

Dihimpit Tembok
Menurut Akwaluddin, saat banjir besar 2002 lalu, seorang warga desanya tewas setelah hanyut terbawa arus. Warga tewas itu menjadi korban saat menyeberang sungai yang tiba-tiba banjir. Rabu lalu, memang ada seorang warga bernama Suhaidi alias Dedek (28) yang sempat hanyut saat mencoba menjebol tembok pagar untuk memuluskan aliran air banjir. Ia selamat. Meski kakinya sempat dihimpit tembok. Ia juga sudah dirujuk ke rumah sakit, terang kades.

Dikatakan Akwaluddin, meski banjir kemarin membuat tiga desa, Semelako, Karang Anyar dan Tanjung Bunga, seperti danau, tak ada korban jiwa yang diakibatkannya. Karena sudah sering banjir, kami tahu tanda-tandanya. Supaya tidak menjadi korban, kalau hujan di gunung, air sungai keruh, warga menjauh dari sungai. Orang tua biasanya melarang anak-anak ke sungai kalau hujan di gunung. Makanya, tidak ada korban jiwa lagi, ujar Akwaluddin. (467)

Potensi Pariwisata Kabupaten Lebong

Di Kabupaten Lebong juga terdapat beberapa Obyek Wisata Air yang dapat dikunjungi oleh para Wisatawan, antara lain adalah :

* Wisata Danau Tes : Danau Tes merupakan tempat wisata sekaligus menjadi Pusat Pembang-kit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Bengkulu. Tidak sama dengan tempat wisata lainnya, luas objek wisata Danau Tes + 750 Ha jarak tempuh-nya 25 km dari ibu kota kabupaten dapat di tempuh dengan ken-daraan umum, Danau Tes telah tersentuh oleh Penataan Pembangunan.

* Sumber Air Panas Desa Tes : Luas Areal 1 Ha belum dikembangkan.

* Air Terjun Telon Buyuk : Terletak di Desa Turan Lalang 11 Km dari Ibu Kota Kecamatan 24 Km dari Ibu Kota Kabupaten dapat ditempuh dengan kendaraan umum ketinggian ± 50 Meter, mempunyai keindahan Panorama Alam kesejukan dan Kebersihan Udara Luas Area Wisata 9, 5 Ha belum dikembangkan.

* Wisata Air Picung : Air Picung merupakan tempat Wisata Danau Alami, terletak disebelah Utara Kota Muara Aman dengan jarak ± 5 Km sama halnya dengan tempat Wisata Air Putih, Air Picung belum tersentuh oleh Penataan Pembangunan dan di kelola secara profesional.

* Objek Wisata Alam Lobang Kacamata : Terletak di Desa Lebong Tambang yang berada di Kecamatan Lebong Utara + 2 Km dari Pusat Kota Lobang Kacamata memiliki keunikan tersendiri yang mana terletak di dalam Bukit atau Dinding Bukit yang berbatu.

* Air Putih : Air Putih merupakan tempat wisata sumber air panas yang sangat menarik yang terletak ± 10 Km sebelah Timur dari Kota Muara Aman di Desa Air Kopras. Suasana Air Putih pada saat ini masih alami karena belum ada penataan pembangunan yang memadai.

* Objek Wisata Air Panas : Terletak didesa Karang Dapo Kecamatan Lebong Selatan ± 54 Km dari Ibu Kota Kabupaten, dapat ditempuh dengan kendaraan, ada kolam pemandian dengan keindahan Panorama Alam.

* Danau Lupang : Terletak di Kelurahan Mubai Kecamatan Lebong Selatan jarak tempuhnya 6 Km dari Ibu Kota Kecamatan, Sarana yang dimiliki jalan setapak mempunyai Panorama Alam yang indah luas Danau Lupang ± 5 Ha belum tersentuh pengembangan Pembangunan.

* Gunung Belerang : Terletak di Kelurahan Mubai ± 6 Km dari Ibu Kota Kelurahan ± 9 Km dari Ibu Kota Kecamatan mempunyai keindahan Panorama Alam.

* Air Terjun Ketenong : Terletak di Desa Ketenong, masih alami dan belum dikembangkan diperlukan investor untuk pengem-bangan lebih lanjut .

* Sumber Air Panas Turan Lalang : Luas Area 0, 5 Ha masih alami terletak di Desa Turan Lalang.

* Objek Wisata Air Terjun Tes : Terletak di Desa Tes, Luas lahan 1,5 Km masih alami dengan keindahan Panorama Alam.

* Wisata Air Paliak (Lebong Utara) : Sama halnya dengan Sumber air panas Air Putih, Air Paliak merupakan tempat wisata alami yang sangat menarik . akan tetapi di Air Paliak suasana pegunungannya sangat terasa karena memang terdapat di Daerah Pegunungan.

* Danau Blue : Terletak di Desa Mubai Luasnya ± 2 Km belum dikembangkan mempunyai pemandangan yang indah dan alami, airnya jernih kebiru-biruan.

* Sungai Ketahun : Terletak disepanjang Desa Suka Sari dan Talang Leak mempunyai air yang sangat jernih, keindahan Panorama Alam dan Luasnya sungai sepanjang 20 Km.

* Objek Wisata Lainnya : Diantaranya Goa Sriwijaya, Suban Gergok, Telaga Tujuh warna, Air Terjun Tik Gumaceak, Air Terjun Siapang, Air terjun Bio Baes, Air Terjun Taman Peri, Air Terjun Amen, Arum Jerang Air Ketahun dan Air Terjun Tebing Serai.

Situs/Benda Cagar Budaya Di Kabupaten Lebong

Nama Benda Cagar Budaya Lokasi Keterangan
Keramat Tebo Lai Semelako Kecamatan Lebong Tengah Rajo Megat
Keramat Tebo Sam Atas Tebing Kec. Lebong Atas Rajo Mawang
Keramat Ulau Dues Tunggang Kec. Lebong Utara Ki Karang Nio
Keramat Lebong Semelako Kec. Lebong Tengah Ki Pandan
Keramat Beringin Kuning Semelako Kec. Lebong Tengah Ki Pati
Keramat Tapus Tapus Kec. Rimbo Pengadang Rio Setanggei Panjang
Situs Tepok Reginang Tapus Kec. Rimbo Pengadang Dayang Reginang
Situs Tanah Majapahit Tapus Kec. Rimbo Pengadang Biku Bembo
Situs Malim Janggut Tl. Ratu kec.Rimbo Pengadang Malim Janggut
Keramat Tik Ukem Tes kec. Lebong Selatan Biku Bermano
Keramat Tubei Pelabi Kec. Lebong Atas Samang Alo
Keramat Daneu Daneu Kec. Lebong Atas Ajai Malang
Rumah Adat Tradisional Gunung Alam Kec. Lebong Atas Dilestarikan suku rejang

Jenis-jenis Kesenian Kabupaten Lebong
* Tarian Induk : Tari Kejai
* Tari Kereasi : Tari Uli, Tari Ejek, Tari Kipas, Tari Pisau, Tari Selendang, Tari Kemanten, Tari undang Biniak, Tari Lalan Belek, Tari Obor, Tari Samana, dan tari Ting Bedeting.

* Medula : Cerita Legenda yang dilagukan tanpa alat musik (hanya vocal). Mengisahkan tentang perjuangan kaum laki-laki.

* Geritan : Cerita pahlawan yang dilagukan dengan alat pengeras suara bambu (Gerigik).

* Sambei : Penyampaian ungkapan hati dengan Bahasa yang halus dan dilagukan.

* Rejung : Penyampaian perasaan hati dengan Bahasa yang halus dan dilagukan.

* Perbimbang : Penyampaian ungkapan hati dengan Pantun yang dilagukan.

* Seni Kerajinan : Menganyam dan sejenis kerajinan Tangan lainnya.

* Seni Arsitektur : Cara-cara pembuatan alat pendukung kerja (kehidupan) dalam pertanian, rumah tangga

* Seni Musik : Musik Kolintang, Musik Sedem, Musik Krilu, Musik Ketuk Kecitung, Musik Redap, Gendang, Musik Genggong, Musik suling, Musik Rebana, Musik Gitar Tunggal.

Sumber : http://www.janghiangbong.com/

Sejarah Asal Usul Komunitas Adat Rejang

Suku bangsa Rejang yang dewasa ini bertebaran tentunya mempunyai asal usul mula jadinya, dari cerita secara turun temurun dan beberapa karangan-karangan tertulis mengenai Rejang dapatlah dipastikan bahwa asal usul suku bangsa Rejang adalah di Lebong yang sekarang dan ini terbukti dari hal-hal berikut :


* John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberikan keterangan tentang adanya empat Petulai Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (selupu) dan Toobye (Tubay).
* J.L.M Swaab, Kontrolir Belanda di Lais (1910-1915) mengatakan bahwa jika Lebong di angap sebagai tempat asal usul bangsa Rejang, maka Merigi harus berasal dari Lebong. Karena orang-orang merigi memang berasal dari wilayah Lebong, karena orang-orang Merigi di wilayah Rejang (Marga Merigi di Rejang) sebagai penghuni berasal dari Lebong, juga adanya larangan menari antara Bujang dan Gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu Petulai Tubei.
* Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bang dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.

Pada mulanya suku bangsa Rejang dalam kelompok-kelompok kecil hidup mengembara di daerah Lebong yang luas, mereka hidup dari hasil-hasil Hutan dan sungai, pada masa ini suku bangsa Rejang hidup Nomaden (berpindah-pindah) dalam tatanan sejarah juga pada masa ini disebut dengan Meduro Kelam (Jahiliyah), dimana masyarakatnya sangat mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam dan lingkungan yang tersedia.

Barulah pada zaman Ajai mereka mulai hidup menetap terutama di Lembah-lembah di sepanjang sungai Ketahun, pada zaman ini suku bangsa Rejang sudah mengenai budi daya pertanian sederhadan serta pranata sosial dalam mengatur proses ruang pemerintahan adat bagi warga komunitasnya. Menurut riwayat yang tidak tertulis suku bangsa Rejang bersal dari Empat Petulai dan tiap-tiap Petulai di Pimpin oleh seorang Ajai. Ajai ini berasal dari Kata Majai yang mempunyai arti pemimpin suatu kumpulan manusia.

Dalam zaman Ajai ini daerah Lebong yang sekarang masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis atau sering juga di sebut sebagai Kutai Belek Tebo. Pada masa Ajai masyarakat yang bekumpul sudah mulai menetap dan merupakan suatu masyarakat yang komunal didalam sisi sosial dan kehidupannya sistem Pemerinatahan komunial ini di sebut dengan Kutai. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan antara masyarakat tersebut terhadap hak kepemilikan secara komunal. Semua ketentuan dan praktek terhadap hak dan kepemilikan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat dipimpin oleh seorang Ajai. Walaupun sebenarnya dalam penerapan di masyarakat seorang Ajai dan masyarakat lainnya kedudukannya tidak dibedakan atau dipisahkan berdasarkan ukuran derajad atau strata.

Sungguhpun demikian pentingnya kedudukan Ajai tersebut dan di hormati oleh masyarakatnya, tetapi masih dianggap sebagai orang biasa dari masyarakat yang diberi tugas memimpin, ke empat Ajai tersebut adalah:

* Ajai Bintang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Pelabai suatu tempat yang berada di Marga Suku IX Lebong
* Ajai Begelan Mato memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Kutai Belek Tebo suatu tempat yang berada di Marga Suku VIII, Lebong
* Ajai Siang memimpin sekumpulan manusai yang menetap di Siang Lekat suatu tempat yang berada di Jurukalang yang sekarang.
* Ajai Malang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Bandar Agung/Atas Tebing yang termasuk kedalam wilayah Marga Suku IX sekarang.

Pada masa pimpinan Ajai inilah datang ke Renah Sekalawi empat orang Biku/Biksu masyarakat adat Rejang menyebutnya Bikau yaitu Bikau Sepanjang Jiwo, Bikau Bembo, Bikau Pejenggo dan Bikau Bermano. Dari beberapa pendapat menyatakan bahwa para Bikau ini berasal dari Kerajaan Majapahit namun beberapa tokoh yang ada di Lebong berpendapat tidak semua Bikau ini bersal dari Majapahit. Dari perjalan proses Bikau ini merupakan utusan dari golongan paderi Budha untuk mengembangkan pengaruh kebesaran Kerajaan Majapahit, dengan cara yang lebih elegan dan dengan jalan yang lebih arif serta mementingkan kepedulian sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya lokal.

Melalui strategi para utusan Menteri Kerajaan seharusnya tidak lagi berusaha untuk menyebarkan kebudayaan serta bahasa Jawa. Oleh karena itu golongan paderi Budha yang memiliki tindakan yang tenang dan ramah tamah, dengan mudah dapat diterima dan masyarakat Rejang. Terbukti bahwa keempat Biku tersebut bukanlah mempunyai maksud merampas harta atau menerapkan upeti dan pajak terhadap Raja Majapahit, namun mereka hanya memperkenalkan kerajaan Majapahit yang tersohor itu dengan raja mudanya yang bernama Adityawarman. Sewaktu mereka sampai di Renah Sekalawi keempat Biku tersebut karena arif dan bijaksana, sakti, serta pengasih dan penyayang, maka mereka berempat tidak lama kemudian dipilih oleh keempat kelompok masyarakat (Petulai) dengan persetujuan penuh dari masyarakatnya sebagai pemimpin mereka masing-masing.

* Biku Sepanjang Jiwo menggantikan Ajai Bitang
* Biku Bembo menggantikan Ajai Siang
* Biku Bejenggo menggantikan Ajai Begelan Mato
* Biku Bermano menggantikan Ajai Malang

Setelah dipimpin oleh empat Biku, Renah Sekalawi berkembang menjadi daerah yang makmur dan mulai produktif pertaniannya sudah mulai bercocok tanam, berkebun dan berladang. Sehingga pada saat itulah kebudayaan mereka semakin jelas dan terkenal dengan adanya tulisan sendiri dengan abjad Ka-Ga-Nga (sampai sekarang masih lestari dan di klaim menjadi tulisan asli Bengkulu).

Setelah keempat Biku terpilih untuk memimpin kelompok masyarakat mendapat sebuah tantangan dalam bentuk bencana wabah penyakit yang menyerang masyarakat. Bencana itu terjadi kira-kira akhir abad ke XIII, wabah penyakit yang banyak merenggut jiwa masyarakat tanpa memandang umur dan jenis kelamin. Menurut ramalan para ahli nujum setempat yang menyebabkan datangnya musibah itu adalah seekor beruk putih yang bernama Benuang Sakti dan berdiam di atas sebuah pohon yang besar di tengah hutan.

Untuk mencari jalan keluar atas bencana yang terjadi, keempat Biku itu bersepakatlah untuk mencari pohon besar tersebut dan segera menebangnya dengan sebuah harapan setelah ditebang dapat mengakhiri wabah yang terjadi. Setelah membagi tugas masing-masing mereka berpencar ke segala penjuru hutan dan akhirnya rombongan Biku Bermano sampai dan menemukan pohon besar yang mereka cari, mereka kemudian segera untuk menebang pohon besar itu, namun usaha mereka tidak berhasil menebang pohon tersebut karena semakin ditebang oleh kapak, pohon tersebut semakin bertambah besar, kejadian yang sama terjadi, setelah rombongan dari Biku Sepanjang Jiwo sampai di tempat yang sama dan mencoba untuk menebang pohon besar itu, disusul rombongan dari Biku Bejenggo tetapi pohon itu pun tidak juga roboh. Pada saat itu munculah rombongan terakhir yaitu Biku Bembo dan kepada mereka diceritakan kejadian aneh yang mereka alami dalam menebang pohon besar yang tidak mau roboh setelah ditebang bahkan pohon itu bertamah besar.

“Riwayat saat bertemu rombongan pimpinan Biku Bembo bertemu dengan ketiga rombongan di tempat ditemukannya pohon besar yang di atasnya ada beruk putih bernama Benuang Sakti berada terlontarlah kata-kata dalam bahasa Rejang: pro pah kumu telebong yang berarti di sini kiranya saudara-saudar berada. Sejak peristiwa itu Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong”.

Setelah diceritakan kejadian yang terjadi kepada rombongan Biku Bembo, mereka bermusyawarah untuk mengatasi masalah yang terjadi itu dan bersepakat meminta petunjuk kepada Sang Hiang (Yang Maha Kuasa) supaya dapat mencari cara bagaimana menebang pohon besar itu supaya dapat ditebang. Cara yang dilakukan oleh keempat Biku itu adalah dengan betarak (bertapa), setelah betarak dilakukan mereka mendapat petunjuk pohon itu dapat ditebang kalau dibawahnya digalang/ditopang oleh tujuh orang gadis muda/remaja.

Setelah itu mereka bergegas menyiapkan segala sesuatu petunjuk yang didapat oleh Sang Hiyang termasuk bagaimana caranya mereka mencari akal supaya ketujuh gadis itu supaya tidak menjadi korban atau mati tertimpa oleh pohon besar yang akan dirobohkan. Selanjutnya mereka menggali parit untuk menyelamatkan ketujuh gadis penggalang itu. Setelah pekerjaan membuat parit dan ketujuh gadis siap untuk menggalang pohon yang akan dirobohkan, maka mulailah pohon besar itu ditebang dan sesungguhnya pohon itu roboh di atas tempat ketujuh gadis penggalang. Parit yang dibuat tepat di tempat rebahnya pohon besar yang telah ditebang telah menyelamatkan ke tujuh gadis dari maut dan terlindungi di dalam parit yang dibuat.

* “Peristiwa yang diriwayatkan di atas dijadikan awal dari pemberian nama bagi petulai-petulai mereka sesuai dengan pekerjaan rombongan pemimpin masing-masing dalam usaha menebang pohon besar dimana tempat bersemayam beruk putih Benuang Sakti”.
* Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui atau Tubai, asal kata dari bahasa Rejang “berubeui-ubeui” yang berarti berduyun-duyun.
* Petulai Biku Bermano diberi nama Bermani, asal kata ini dari bahasa Rejang “beram manis” yang berarti tapai manis.
* Petulai Biku Bembo diberi nama jurukalang, asal kata dari bahasa Rejang “kalang” yang berarti galang.
* Petulai Biku Bejenggo diberi nama Selupuei asal kata dari bahasa Rejang “berupeui-uoeui” yang berarti bertumpuk-tumpuk.

Maka sejak saat itulah Renah Sekalawi bernama Lebong dan tercipta Rejang Empat petulai yang menjadi Intisari dan asal mula suku bangsa Rejang.

Kesepakatan yang di bangun setalah prosesi penebangan kayu Benuang Sakti ini semua rakyat di bawah pimpinan Bikau Sepanjang Jiwo di mana saja mereka berada di satukan di bawah kesatuan Tubey dan berpusat di Pelabai. Dengan kembalinya Bikau Sepanjang Jiwo ke Majapahit atau ada yang berpendapat ke bagian Majapahit Melayu yang berfusat di Pagar Ruyung, kepemimpinan Bikau ini kemudian di gantikan oleh Rajo Mengat atau Rajo Mudo Gunung Gedang yang kedatangannya dapat diperkirakan sekitar abad ke-15.

Baru setelah kepemimpinan Rajo Mengat ini yang digantikan oleh anaknya bernama Ki Karang Nio yang memakai gelar Sultan Abdullah akibat pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan untuk invansi wilayah, maka anak komunitas ini bertebaran dan membentuk komunitas-komunitas baru atas kesepakatan besar yang dilakukan di Lebong kemudian Petulai Tubey ini dipecahkan menjadi Marga Suku IX yang berkedudukan di Kutai Belau Saten, Marga Suku VIII di Muara Aman dan Merigi untuk pecahan Petulai Tubey di Luar wilayah Lebong.

Petulai Selupu tidak pecah dan tetap utuh walaupun anggota-anggotanya bertebaran ke mana-mana. Menurut riwayat Bikau Pejenggo yang mengantikan Ajai Malang ini berkedudukan di Batu Lebar di Kesambe yang merupakan wilayah Rejang, sedangkan Desa Administratif Atas Tebing include ke dalam wilayah adat Selupu Lebong yang merupakan wilayah desa yang berbatasan dengan wilayah adat Rejang Pesisir dan Desa Suka Datang berada dalam wilayah Marga Suku IX secara fisik berbatasan dengan wilayah Adat Bintunan Rejang Pesisir.

Sistem Kelembagaan Komunal/Adat

Dari resume yang ditulis di atas dapat diketahui bahwa asal usul suku bangsa Rejang dari Lebong dan berasal dari empat Petulai yaitu Jurukalang, Bermani, Selupu dan Tubey. Dari Tulisan Dr Hazairin dalam bukunya De Redjang yang mengutip tulisan dari Muhammad Husein Petulai di sebut juga dengan sebutan Mego.

Hal ini di perkuat juga dengan tulisan orang-orang inggris yang pernah di Bengkulu Marsden dan Raffles demikian juga dengan orang Belanda Ress dan Swaab menyebut juga perkataan Mego.

Petulai atau Mego ini adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilinial dan perkawinan yang eksogami, sekalipun mereka terpencar dimana-mana. Sistem eksogami ini merupakan syarat mutlah timbulya Petulai/clan sedangkan sistem kekeluargaan yang patrilineal sangat mempengaruhi sistem kemasyarakatan dan akhirnya mempengaruhi bentuk kesatuan dan kekuasaan dalam masyarakat.

Pada zaman Bikau masyarakat di atur atas dasar sistem hukum yang di buat berdasarkan azas mufakat/musyawarah, keadaan ini melahirkan kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan Kutai yang dikepalai oleh Ketuai Kutai. Kutai ini bersal dari Bahasa dan perkataan Hindu Kuta yang difinisikan sebagai Dusun yang berdiri sendiri, sehingga pengertian Kutai ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat tunggal yang geneologis dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan.

Pada Zaman kolonial kemudian sistem kelembagaan dan pemerintahan adat ini oleh Assisten Residen Belanda J. Walland (1861-1865) kemudian mengadopsi sistem pemerintahan lokal yang ada di wilayah Palembang dengan menyebut Kutai atau Petulai ini dengan sebutan Marga yang dikepalai oleh Pesirah. Dengan bergantinya sistem pemerintahan ini Kutai di ganti dengan sebutan Dusun sebagai kesatuan masyarakat hukum adat secara teroterial di bawah kekuasaan seorang Kepala Marga yang bergelar Pesirah. (team AMARTA: Salim Senawar, Erwin S Basrin, Madian Sapani, Henderi S Basrin, Sugianto Bahanan, Hadiyanto Kamal, Riza Omami, Bambang Yuroto)

Bengkulu Dalam Dunia Wisata

Bengkulu adalah sebuah Provinsi kecil yang terletak dipesisir barat Sumatra,meski kecil namun banyak sekali potensi beragam wisata yang ditawarkan dari daerah ini,Bengkulu terdiri dari 9 kota dan kabupaten yang membentang dan berbatasan dengan sumatra barat,jambi.palembang dan lampung.Bengkulu wisata pantai dan alamnya yang indah akan membuat anda kagum dan bangga.
bunga Raflesia bunga terbesar Didunia
Raflesia adalah salah satu simbol yang menandakan tempat atau daerah Provinsi Bengkulu.Selain itu juga beragam potensi wisata menghiasa provinsi yang kecil ini dengan berbagai macam wisata dari seluruh kabupaten yang mencapai 9 kabupaten dan kota diprovinsi Bengkulu.Dari separuh penduduknya yang berada pada pesisir pantai,maka tak heran jika andalan wisata di Bengkulu adalah pantainya yang sangat indah.Jika ingin melihat lebih lanjut mengenai gambaran potensi wisata yang ada di Provinsi Bengkulu makaanda bisa melihatnya pada halaman peg ..”wisata bengkulu”.
Setelah urusan gempa bengkulu selesai aku sempetin buat jalan2 di kota Bengkulu. Waktu yang tersedia cuma 3 jam sebelum berangkat ke kantor travel untuk kembali ke Palembang.Diluar perkiraan aku ternyata Bengkulu punya obyek wisata sejarah yang pantas menjadi pilihan para turis. Berbagai peninggalan masa silam yang ada di Bengkulu tergolong unik, terutama wisata sejarah peninggalan Inggris yang masih terpelihara. Bengkulu sendiri merupakan kota pantai sekaligus kota pegunungan dan dikelilingi lembah hijau yang menawarkan kenyamanan dan keindahan. Ibu kota propinsi yang bertengger dibibir pantai Samudra Indonesia ini berbatasan dengan Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Lampung.
Yang bikin Bengkulu menjadi menarik sebagai tempat wisata sejarah karena banyak peninggalan2 sejarah seperti Benteng Marlborough, rumah kediaman Bung Karno, makam Sentot Alibasyah, monumen Parr, dan Masjid Jamik yang bisa dikunjungi, selain juga pantainya yang menghadap ke Samudera Indonesia yang keren2. Mulai dari Pantai Tapak Padri di sebelah Barat Daya Fort Marlborough sampai ke Pantai Lais dan Mukomuko di Bengkulu Utara. Tapi karena waktu yang tersedia cuma 3 jam aja, jadinya cuma bisa mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno, Benteng Marlborough n pantai.
Rumah Pengasingan Bung Karno
Bung Karno, sebelum kemerdekaan pernah diasingkan di Bengkulu (14 Februari 1938 - 9 Juli 1942). Rumah kediaman selama dalam pengasingan letaknya di Jalan Soekarno Hatta n barang-barang peninggalan beliau tersimpan di dalamnya. Saat ini rumah tersebut dijadikan museum oleh pihak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rumah tua dengan arsitektur menarik ini berukuran 9 x 18 meter berdiri di atas lahan sekitar 40.000 meter ini punya taman bunga yang tertata apik. Di rumah sederhana dengan lima ruangan ini terdapat barang-barang peninggalan keluarga Bung Karno. Memasuki rumah ini setelah beranda depan, terdapat ruangan yang berisikan sepeda tua merek Hercules yang dulu dipake Bung Karno kalo keliling di kota Bengkulu. Dari ruang sepeda menuju ke belakang ada ruang perpustakaan kecil yang berisi ratusan koleksi buku-buku milik Bung Karno, mulai dari buku seni, arsitektur, kenegaraan n politik. Di tempat ini juga tersimpan alat-alat perlengkapan sandiwara tonil Monte Carlo punya Bung Karno. Setelah itu ada dua buah kamar yang saling berhadapan, tempat menyimpan benda-benda bersejarah peninggalan Bung Karno seperti tempat tidur besi, kursi tamu dan lemari makan. Setiap ruangan terpajang foto-foto Bung Karno dengan segala kegiatannya. Ga jauh dari rumah Bung Karno terdapat rumah peninggalan Fatmawati Soekarno yang berlokasi di jalan Fatmawati. Rumah panggung ini bukan rumah aslinya, tetapi sudah banyak direnovasi. Tapi sayang aku ga sempet kesana, karena harus ngejar waktu ke Benteng Marlborough.
Benteng Marlborough (Fort Marlborough)
Benteng Marlborough (Fort Marlborough) merupakan benteng peninggalan Inggris, didirikan oleh East Indian Company pada tahun 1713-1719 dibawah pimpinan Gubernur Joseph Callet merupakan benteng terkuat Inggris di daerah Timur setelah Benteng George di Madras. Benteng ini didirikan di atas bukit buatan, menghadap arah kota Bengkulu dan memunggungi Samudera Hindia. Bila berdiri di salah satu sisi benteng, kita bisa liat landscape Pantai Padri yang waktu sunset. Ga jauh dari lokasi benteng ada monumen Thomas Parr yang dibangun pemerintah Inggris untuk mengenang tempat residen Thomas Parr yang meninggal di Bengkulu karena pemberontakan rakyat setempat.Benteng Marlborough jadi iconnya kota Bengkulu karena benteng ini merupakan primadona wisata Bengkulu. Benteng yang bentuknya seperti kura-kura dan terletak di tepi pantai Tapak Padri ini dibangun secara bertahap selama lima tahun mulai 1714. Pembangunan benteng tersebut dulu dimaksudkan untuk memperkuat pertahanan Inggris di kawasan pantai barat Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) terhadap ancaman kompeni Belanda (VOC) yang memusatkan pertahanannya di Batavia dan Banten, sekaligus mempertahankan daerah Bengkulu sebagai daerah monopoli lada dan pusat perdagangan.
Aku terkesan ke Benteng Marlborough ini karena kekokohan benteng tersebut yang terbuat dari beton yang menghadap ke Samudra Indonesia dan pantai Tapak Padri. Di bagian dalam benteng, kita bisa liat bekas-bekas kamar yang fungsinya antara lain untuk kamar serdadu (barak), gudang penyimpanan lada dan cengkeh, ruang tahanan, gudang mesiu, logistik dan kantor. Di beberapa ruangan terdapat coretan para tahanan pada dinding tembok. Malah ada coretan yang dibuat oleh serdadu Inggris yang mungkin jenuh berperang sehingga melampiaskan kejenuhannya di tembok. Bung Karno sendiri pernah ditahan di salah satu ruangan benteng tersebut ketika Belanda membuang beliau ke Bengkulu.
Bangunan benteng dikelilingi oleh tembok yang tebalnya 2 meter. Selain itu meriam-meriam sundut di tempat yang strategis seolah-olah siap menjaga setiap sudut benteng. Benteng tersebut berdiri di atas bukit karang yang menghadap ke pantai. DI sekeliling benteng terdapat parit-parit pertahanan dengan tiga jembatan penghubung yang sewaktu-waktu bisa dinaik-turunkan. Seperti benteng-benteng bangsa Eropa abad pertengahan khususnya Inggris, bangunan Itu terkesan berwibawa, angker dan sangat kokoh.Di depan benteng Marlborough terbentang pantai Tapak Padri. Di pantai ini kita bisa melihat perahu-perahu nelayan yang sedang mencari ikan atau merapat dipantai. Tempat ini ramai dikunjungi wisatawan pada sore hari untuk menikmati matahari terbenam (sunset). Bahkan saat ini di pantai tersebut sedang dibangun wahana wisata bahari seperti di Ancol n Lamongan.
Benteng Marlborough sendiri merupakan benteng kedua yang dibangun di Bengkulu setelah Benteng York (Fort York) dan merupakan benteng pengganti Fort York. Alasan pemindahan benteng tersebut karena di benteng sebelumnya (Fort York) lingkungannya rawa-rawa yang berada di dataran rendah sehingga ketika air laut pasang merendah pondasi benteng. Selain itu juga karena jarak pantaunya tidak sejauh Benteng Marlborough.Dekat Benteng Marlborough kita bisa mengunjungi Monumen Parr, suatu monumen yang merupakan simbol kemenangan rakyat Bengkulu melawan lnggris. Monumen ini bisa dikatakan sebagai lambang maut bagi residen Inggris Thomas Parr yang dibantai rakyat dalam peristiwa pemberontakan tahun 1807. Jenazah residen yang terkenal kejam itu dimakamkan di bagian kepala kura-kura benteng Marlborough. Tugu berbentuk kubah merupakan tanda memperingati terbunuhnya Thomas Parr.
Yang disayangkan dari benteng ini adalah tampaknya tidak ada penjaga khusus dan ketika malam tidak dikunci, sehingga benteng ini sangat kondusif untuk dijadikan tempat mesum. Karena memang banyak sudut dan lorong yang memungkinkan untuk melakukan itu. Aku tulis gitu karena ga sengaja menemukan beberapa “artefak mesum” di beberapa sudut benteng ini.Sangat disayangkan…
Pantai PANJANG
Setidaknya ada dua pantai yang ada di sekitar pusat kota, yaitu pantai Tapak Padri dan pantai Panjang Gading Cempaka.
1. Pantai Tapak Padri
Pantai ini terletak di sebelah Barat Daya benteng Marlborough. Pintu masuk ke pantai ini bersebelahan dengan pintu masuk ke Benteng Marlborough. Pantai ini berada di kawasan Kampung Cina yang juga merupakan salah satu objek wisata di kota Bengkulu. Yang bisa dinikmati dari pantai ini adalah merupakan pantai nelayan. Bahkan saat ini di kawasan tersebut sedang dibangun tempat Wisata Bahari seperti Ancol dan Lamongan.
2. Pantai Panjang Gading Cempaka
Pantai ini membentang sepanjang 7 km dengan pasir putihnya. Disepanjang pantai terdapat banyak pohon cemara dan beberapa rumah makan, side cottage dan kolam renang. Letak pantai sekitar 3 km dari pusat kota.
3. Pantai Lais
Pantai ini berada di Kecamatan Lais, ± 60 km dari pusat kota. Yang menarik dari pantai ini adalah pantainya masih asli, belum disentuh oleh kegiatan komersil. Jadi buat para penikmat pantai alami bisa main2 kesini, karena mulai dari Pantai Lais ke arah utara menuju Mukomuko pantainya masih asli.Yang menarik dari pantai2 yang ada di Bengkulu adalah memiliki pasir yang berbeda2, mulai dari pasir putih (Pantai Tapak Padri n Pantai Panjang Gading Cempaka), dan pasir hitam (Pantai Lais dan pantai lainnya ke arah utara). Jadi anda bisa milih akan bermain di pasir yang man